Kebijakan Maritim Indonesia dalam Panggung Konstelasi Geopolitik Kawasan

Catatan Diplomasi Politik Pelaut Nuswantara

Pelaut ADIPATI l Kalitbang INDOMARITIM  l  Direktur Eksekutif TRUST  l Presiden SPI  l  Volunteer INMETA 

Mengenang visi besar Presiden RI Joko Widodo tentang perlunya Indonesia menjadi poros maritim global, dan menjadikan negara ini sebagai entitas maritim yang kuat, makmur, dan berperan penting. Maka seyogyanya pembangunan disektor maritim sudah harus disesuaikan dengan tantangan zaman, bahkan tanpa harus  terganggu oleh perhelatan pergantian kepemimpinan negeri di februari 2024 ini. Semua stakeholders maritim Indonesia tentunya menggantungkan harapannya yang besar pada pimpinan tertinggi negara untuk menjadikan negeri ini menjadi kekuatan maritim dunia. Dan tentunya dengan menjaga kelangsungan ekosistem laut kita yang kaya biota laut untuk industri farmasi dan lainnya. Sehingga diperlukan keamanan dan kerjasama di perairan, serta memberikan peluang yang luas bagi generasi mendatang untuk berinovasi dan memajukan sektor kelautan dan perikanan.

Banyak pihak yang mempertanyakan mengapa Indonesia belum menjalankan perannya sebagai negara maritim. Salah satu penyebabnya adalah karena infrastruktur di pulau-pulau utama Indonesia belum sebagus yang ada dipulau Jawa. Sehingga kecenderungan investor masuk ke Indonesia lebih memilih ke Jawa, bahkan pada saat biaya buruh terus naik tanpa diimbangi kompetensi dan sertifikasi kerja yang layak. Urusan investor dinilai menjadi lebih penting mengingat APBN tidak akan mampu menggerakkan pembangunan berbasis maritim ini, ditambah dengan fokus infrastruktur primer seperti jalan nasional, jalan tol, jalur kereta, pelabuhan, dan bandara lebih diutamakan oleh pak Jokowi ketimbang arsitektur kemaritiman. Menjadi ironis jika kepemimpinan masa depan Indonesia kembali hanya menjadikan spektrum Maritim sebagai bahan kampanye politik saja.

Tidak ada yang tidak mungkin bagi Indonesia jika Presiden terpilih nanti tidak saja Visioner tapi lebih dari itu berkomitmen dengan semua janji kampanyenya. Janji untuk membangun infrastruktur maritim yang nantinya akan menjadi daya tarik utama pemilik modal untuk mendorong pembangunan didaerah yang hampir seluruhnya memiliki jalur pantai yang panjang. Dibutuhkan ekosistem kemaritiman mulai dari regulasi, teknologi dan sumber daya manusianya yang percaya akan menjadi penguasa dunia saat mengusai lautnya. Sejarah membuktikan VOC sebagai kekuatan maritim dunia nomer wahid dimasanya, mampu beraset US$ 7.9 Triliun lewat penjelajahan laut ribuan nautikal mil dan mengendalikan semua negara jajahannya termasuk Indonesia. Pengendalian sistemik yang membuat Indonesia menjadi negara kepulauan rasa kontinental dengan mindset membangun didarat lebih menguntungkan daripada di laut.

Mengenal VOC sebagai Pengendali Maritim Dunia

VOC adalah sebuah perusahaan multinasional pertama dan terbesar serta paling sukses di abad ke-17, hingga menjelang keruntuhannya di awal abad ke-19. VOC lahir dari sebuah inovasi kapitalisme yang brilian, dan nanti akan menjadi cetak awal untuk ditiru oleh model kapitalisme global berikutnya, yaitu pendanaan patungan serta jual beli kepemilikan yang difasilitasi oleh Bursa Saham Amsterdam, pasar modal pertama di dunia. Apa yang terjadi pada sekitar tahun 1400 (abad ke-15) hingga tahun 1600 (abad ke-17) di Nusantara? Kenapa bukan nenek moyang kita saja yang membangun pasar modal, membiayai kargo kapal dagang kayu antar benua, mencetak uang, lalu mendominasi perdagangan global? Padahal komoditas utama global ditanam di Nusantara?

Pada abad-abad tersebut konsentrasi politik para penguasa lokal ada pada aspek pertanian dan pertahanan. Kecenderungan faktor ideologi para penguasa feodal adalah lebih mengutamakan kelas aristokrasi pemilik tanah daripada kaum pedagang (merkantilis), raja adalah pusat segalanya, semacam formasi mandala. Raja-raja feodal ini menggunakan ideologi kerajaan konsentris, yang cenderung mengutamakan pemasukan dari hasil pertanian, dan cenderung melakukan disinsentif terhadap perdagangan.

Ironisnya, keberhasilan perusahaan multinasional VOC di Nusantara adalah karena kerjasama yang efektif antara kapitalis Eropa dengan para tuan tanah feodal Nusantara, yang ikut memanfaatkan lalu dimanfaatkan VOC, dalam urusan perebutan tahta. VOC menawarkan jasa serdadu bayaran, lalu raja-raja feodal di Nusantara membeli jasa itu untuk berebut tahta, seringkali tak mampu membayar, lalu dibayar dengan konsesi tanah, misalnya Semarang dan sepanjang Pantai Utara Jawa. Jika saja masalahnya adalah soal teknis kapal dan peta, tentunya orang Nusantara bisa saja memutus mata rantai pasok perdagangan global rempah, dan lalu mendominasi kapitalisme global hingga sekarang. Tapi urusannya tidak semata teknis, ada banyak sekali elemen yang memotivasi manusia untuk menguasai perdagangan dunia.

Performa Angkatan Laut Indonesia

Maka penting untuk segera berdaulat dilaut untuk menghadapi invasi dari manapun. TNI Angkatan Laut Indonesia adalah benteng geopolitik strategik kawasan yang justru harus diutamakan dan dikawal anggarannya, mengingat semua negara adidaya melakukan hal yang sama dalam angkatan bersenjatanya. Sampai hari ini bangsa pelaut nusantara yang terkenal dalam sejarah maritim, kita belum memiliki kapal induk – Aircraft Carrier. Jangankan kapal induk, kapal tipe perusak – destroyers saja kita belum punya. Baru kapal tipe fregat dengan pembelian beberapa unit yang juga bertahap. Sementara kapal laut yang tiap hari mencuri ikan di Indonesia sudah dibekali terknologi modern.

Angkatan Laut Indonesia sejauh ini telah menggarap rakitan kapal selam, drone, jet, dsb. Hanya masalah waktu sampai Indonesia mampu memproduksi secara mandiri dan independen. Namun pertanyaan berikutnya bagaimana dengan skenario untuk riset, pembelian, produksi serta operasional anggaran pertahanan keamanan kita di Laut. Sudah urgenkah Indonesia mengoperasikan kapal induk. Apakah hanya cukup dengan kapal patroli, helikopter, berikut pesawat jet menghadapi potensi mega konflik dalam kawasan Laut Cina Selatan. Bangsa ini pada dasarnya sangat mampu, jika perekonomian kita terus bertumbuh tiap tahunnya. Mari belajar dari bagaimana Turki dan Israel dalam riset teknologi alutsistanya. Perkembangan masif teknologi mereka mulai dari drones sampai kapal selam, justru membebaskan mereka dari ketergantungan impor dan doktrin pertahanan darat saja, sementara pertahanan Laut dan Udara adalah yang utama.
Pengendali Maritim Laut Cina Selatan (LCS)
Doktrin pertahanan China dengan “defensif aktif” dengan menebar kapal patroli, pembangunan markas militer di pulau terpencil, kapal nelayan. Menambah ketegangan tanpa henti dihampir semua teritorial Laut Cina Selatan. Maka penting sekali mengembangkan teknologi militer kita, seperti Dron demi mengamankan teritori maritim Indonesia yang luas panjangnya sekitar hampir 40% diameter bumi. Dalam panggung kontestasi geopolitik kawasan diestimasi nilai perdagangan global yang melewati wilayah Laut China Selatan (LCS) sekitar US$3,37 trilliun setiap tahunnya atau sekitar 1/3 nilai perdagangan maritim global. China mengimpor sekitar 80% kebutuhan energinya dan sekitar hampir 40% perdagangannya melalui dan melewati LCS. Jepang dan Korea Selatan sangat bergantung pada wilayah LCS dalam mengimpor kebutuhan energinya dan juga rute perdagangan globalnya, Berikut data riset yang menggambarkan potensi kekayaan maritim seperti hasil laut dan minyak bumi dan gas.
Wilayah ZEE 200 mil laut (370,4 km) berdasarkan kesepakatan UNCLOS dan zona merah sengketa LCS. Negara-negara dengan ZEE-nya masing-masing berhak monopoli dan satu-satunya pihak sebagai pengeksploitas sumber daya alamnya, tapi harus tetap memperbolehkan kapal asing lain yang tidak berkepentingan eksploitasi ataupun militeristik untuk melewati perairan ZEE-nya (innocent passage). Permasalahannya adalah, negara-negara daratan kan posisinya saling berdempetan dan berdekatan sehingga klaim tumpang-tindih pasti akan selalu terjadi. Itu balik kepada masing-masing pihak untuk bernegosiasi, atau dibawa ke sidang internasional PBB. Negara-negara terkait yang ikut meratifikasi United Nations Law of the Sea Convention (UNCLOS) pada 1994. AS sendiri sebagai hegemonic power tidak ikut meratifikasi UNCLOS tapi pada praktiknya mengikuti prinsipnya.
Sejak abad ke-17 sampai ke-20, tradisinya adalah zona maritim termasuk wilayah bebas dari doktrin ideologi dan politik pihak mana pun, sehingga jurisdiksi “kepemilikan” suatu negara atas wilayah samudra menjadi terbatas terutama di daratan. Dalam konteks Laut China Selatan di Samudra Pasifik, saat zaman perang dunia II wilayah ini sempat dikuasai oleh Jepang sebagai basis ofensif angkatan lautnya. Akhirnya ya terjadilah perang besar juga di samudra Pasifik, Pada zaman PD II hingga Januari 1945, wilayah berwarna merah adalah yang dikuasai (didominasi/dikontrol) pihak sekutu (AS dkk) dan yang berwarna cerah dikuasai Jepang.
Selepas kekalahan Jepang di PD II, Tiongkok via Kuomintang sendiri mengklaim wilayah Laut China Selatan berdasarkan doktrin sejarah kuno “11 garis terputus” (eleven dash line) pada tahun 1947, lalu direvisi menjadi ‘cuma’ sembilan garis saja oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang memerintah pada 1949. Permasalahan klasik dengan UNCLOS dan konsep penciptaan ZEE adalah tidak ada institusi supranasional (polisinya) yang berhak dan berwajib untuk menegakkan atas sengketa maritim sekalipun, Konsep ZEE utamanya diciptakan untuk mengatur tentang hak eksploitasi SDA, BUKAN wilayah keamanan untuk ditegakkan dan dijaga seperti konteksnya tanah daratan suatu negara. Hingga akhir 2019.
Tiongkok diestimasi sudah memiliterisasi delapan pulau karang di LCS yang ada fasilitas landasan helikopter dan pesawat, pelabuhan, hanggar, menara komunikasi, hingga instalasi peluncur misil darat ke udara a.k.a. surface-to-air (SAM). Tensi di LCS terus memanas karena dunia internasional bahkan melalui sengketa UNCLOS sekalipun tidak mengakui klaim Tiongkok. Filipina, Vietnam, dan Indonesia adalah negara-negara yang seringkali mengalami insiden maritim dan marah dengan aksi Tiongkok tersebut. Filipina sudah jelas berkiblat ke AS dan punya pangkalan-pangkalan militer AS di negaranya. Vietnam belakangan ini juga cenderung pro ke AS dalam mengantisipasi agresitivitas maritim Tiongkok.

中国梦 – the Chinese dream and the great rejuvenation of the Chinese nation – Mimpi Tiongkok dan peremajaan negara Tiongkok pada 2049. Itu berarti perjuangan untuk modernitas dan pengaruh politik dan sosial yang mencakup wilayah global dengan menyempurnakan sistem pemerintahannya dan mengoreksi tatanan dunia dengan kepercayaan diri yang tinggi. Di balik keabu-abuan isu hukum maritim internasional itu, Tiongkok tahu benar dalam memanfaatkan dan menggunakan celah yang ada. Upaya pembangunan militeristik di LCS bukanlah “menyerang”, melainkan pembangunan peradaban modern dan ekspansi kedaulatannya “berdasarkan sejarah kuno”.

Permasalahan besar ke depannya adalah (potensi konflik besar), ketika semua wilayah LCS tsb sudah “disekuritisasi” Tiongkok secara mantap, maka negara-negara lainlah yang dianggap “menyerang” Tiongkok, dan pastinya dengan kedigdayaan PLAN mereka siap membela dirinya jika terdesak. Oleh karena itu, bagi negara-negara yang bersengketa dengan Tiongkok tidak ada cara lain selain SELALU dan KONSISTEN berusaha menegakkan kedaulatan ZEE-nya di LCS 24–7–365 melalui upaya-upaya diplomasi maupun militeristik defensif-strategis, sebelum semuanya terlambat dalam 1–2 dekade lagi. Isu LCS ini akan selalu hangat ke depannya, sebanding dengan isu “negara” Taiwan itu sendiri.

Problematika Angkatan Laut Nusantara

Dari sisi anggaran yang sekarang berusaha dikelola semakin profesional (trennya semakin baik tapi belum sempurna), sayangnya belum ada prioritas lebih bagi AU dan AL, di mana porsi anggaran ketiga matra cenderung disamaratakan. Padahal, biaya akuisisi (pembelian impor), pengoperasian, dan pemeliharaan armada dan alutsista udara dan laut jelas jauh lebih mahal dibandingkan daratan. Ilustrasi sederhananya, bayangkan saja membeli&mengoperasikan tank/panser vs helikopter serbu dan jet tempur siluman dan kapal tempur seperti fregat dan selam. Itu belum ditambah kesulitan produksi unit (bayangin aja pre-order kendaraan darat vs pesawat dan kapal seberapa lamanya). Pencapaian MEF pun, seperti yang dirilis DPR, masih selalu matra darat yang tertinggi (di atas 75%).

Dulu tahun 2015 ada pejabat TNI yang bilang bahwa idealnya armada TNI AL harus punya sekitar 300–400 unit (termasuk kapal patroli) untuk meng-cover wilayah operasi laut seluas 3,25 juta km2 + Zona Ekonomi Eksklusif 2,55 juta km2. Saat ini, Indonesia baru punya sekitar 160-an unit. Beban kerja berat, keterbatasan personel, gak heran masih sering ada kasus penerobosan kapal-kapal asing di wilayah ALKI RI. Makanya political will dan kepiawaian Presiden dalam membangun pertahanan nasional itu teramat penting sebagai Panglima tertinggi TNI. Kalau tidak dikawal top-down akan selalu berkonflik di bawahnya, setidaknya selama belum ada implementasi sistem yang rapih dan komitmen bersama yang tinggi (termasuk mekanisme audit yang profesional dan transparan).

Fakta bahwa belum ada integrasi dengan daratan-daratan terpencil. Jadi, harga barang di sekitar pelabuhan turun, tapi meroket mahal sekali ketika sampai di pelosok Papua dan tipikal wilayah Timur lainnya. Jika dilempar ke swasta gitu saja, tentu saja orientasi utama mereka ke profit, gak peduli  dengan masalah kesetaraan harga nasional..

Menjadikan Indonesia jadi negara maritim adalah masalah kesadaran dan komitmen bersama. Peluang sektor maritim dan integrasi daratan masih terbuka lebar, seperti logistik, storage dan lainnya. Waspada selalu dengan China yang memang sengaja melakukan berbagai aksi di Laut China Selatan itu agar negara – negara seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Indonesia merespon dengan melakukan perundingan. Karena tujuannya PRC adalah perundingan bukan perang, atau dengan kata lain pengakuan bahwa wilayah tersebut bermasalah.

Geopolitik Maritim Indonesia

Indonesia, dengan posisi wilayah laut yang sangat strategis, berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga dan entitas internasional. Meskipun demikian, keuntungan dari posisi tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan, mengingat sejumlah tantangan yang dihadapi. Salah satu kendala utama adalah belum dibentuknya Undang-Undang Keamanan Laut, menyebabkan tumpang tindih dalam tanggung jawab menjaga keamanan laut Indonesia. Hal ini menjadi fokus utama yang perlu segera diatasi untuk memastikan keamanan maritim yang optimal.

Dalam era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), meskipun telah dibentuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), rencana pembangunan kawasan maritim tidak tergambar secara signifikan dibandingkan dengan pembangunan di daratan. Oleh karena itu, perlu langkah konkret untuk mengakselerasi pembangunan maritim sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Adapun Lima Pilar dalam mewujudkan Poros Maritim Dunia menjadi landasan penting untuk mengembangkan potensi maritim Indonesia:

  1. Pembangunan Kembali Budaya Maritim Indonesia
  2. Komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut
  3. Komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas melalui pembangunan tol laut, pelabuhan laut, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim
  4. Diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama dalam bidang kelautan
  5. Membangun kekuatan pertahanan maritim

Meskipun konsep negara maritim tersebut tergambar jelas dalam Lima Pilar Poros Maritim Dunia, disayangkan bahwa visi misi pasangan Calon Presiden-Calon Wakil Presiden tidak sepenuhnya mencerminkan konsep tersebut. Diksi kemaritiman hanya sedikit disinggung dalam program-program yang ditawarkan. Pasangan Ganjar-Mahfud menjadi salah satu pengecualian dengan menyuarakan slogan “Gerak Cepat Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari.”

Data yang mencerminkan kekayaan laut Indonesia menjadi dasar penting dalam menyusun kebijakan maritim. Luas perairan Indonesia mencapai 6.4 juta km2, dengan luas zona ekonomi eksklusif mencapai 3 juta km2. Hal ini menunjukkan potensi besar untuk dikembangkan, baik dalam sektor ekonomi, pertahanan, maupun diplomasi. Pentingnya memperkuat posisi Indonesia sebagai negara maritim tidak hanya berkaitan dengan keberlanjutan ekonomi, tetapi juga dengan keamanan regional dan kerjasama internasional. Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen dan aksi nyata dari pemerintah untuk mengoptimalkan potensi laut Indonesia dan menjadikannya sebagai kekuatan maritim yang sesungguhnya.

Komentar