Ini kisah kapal perang RI, KRI Nala-363 di Laut Timor saat provinsi ke-27 Indonesia, Timor Timur, memisahkan diri dari pangkuan ibu pertiwi melalui referendum yang diumumkan 4 September 1999. Kelompok prokemerdekaan meraih 344.508 suara dan prootonomi 94.388 suara. Sontak, Timtim bergolak, membuat PBB mengirim pasukan International Force for East Timor (Interfet) berintikan pasukan Australia.
Di daratan, pasukan asal Australia itu over acting dengan berbagai senjata dan peralatan tempur modern. Anggar jago kata orang Medan. Hal serupa juga berlaku di Laut Timor. Di sana, kapal perang mereka tampil permusuhan, dan menyampingkan sailor brotherhood terhadap kapal perang RI.
Tapi mereka kena batunya menghadapi kombatan KRI Nala. Korvet dengan komandan Letkol Laut (P) Marsetio itu sedang berada di antara Dili dan Pulau Kambing untuk pengamanan KRI Teluk Banten-516 dan KRI Teluk Penyu-513 yang bertugas membawa pulang pasukan terakhir TNI/Polri dari Pelabuhan Dili.
Siang hari, 29 September 1999, perwira radar melaporkan adanya dua echo melaju kencang ke arah KRI Nala yang sedang melakukan patroli penyekatan. Echo itu diduga adalah fregat dan destoyer, berlayar dalam kecepatan tinggi menuju posisi KRI Nala. Kapal itu melaju dari tenggara dengan kecepatan 30 knot dan dari utara timur laut dengan kecepatan 20 knot.
Dari identifikasi yang dilakukan, diketahui kedua kapal kombatan yang ukurannya lebih dari dari KRI Nala itu adalah fregat Australia, HMAS Sdyney dan destoyer HMAS Glasgow, milik Angkatan Laut Inggris, veteran Perang Fakland/Malvinas.
Letkol Marsetio lantas memerintahkan peran tempur bahaya kapal permukaan. Semua anak buah kapal (ABK) berlarian menuju pos tempur masing-masing, dan siaga di pos menunggu perintah pertempuran.
Sementara itu, kedua kapal perang Sekutu itu tidak mengurangi kecepatan, tetap melaju dalam kecepatan tinggi ke arah Nala. Tampaknya kedua kapal itu akan menjepit dan memotong haluan KRI Nala. Mereka secara provokatif menggertak KRI Nala dengan harapan kapal perang RI itu mengubah haluan, menghindari ancaman tabrakan di laut.
Tapi KRI Nala tidak bisa digertak. Letkol Marsetio tetap setia pada haluannya. Meskipun kapalnya lebih kecil, KRI Nala tidak mau dilecehkan. Apalagi KRI Nala berada di perairan teritorial, dan Timtim masih bagian dari Indonesia meskipun prokemerdekaan telah memenangi jejak pendapat.
Waktu terus berjalan. Situasi mendekati kritis. Dengan gagah KRI Nala, kapal yang mengambil nama Panglima Laut Kerajaan Majapahit menyongsong dua kombatan sekutu. Sampai jarak kurang dari 300 yard, belum ada tanda-tanda kapal provokator mau mengalah. Begitu juga KRI Nala, keukeuh tidak mau mengalah!
KRI Nala meladeni permainan berbahaya, dan mempermainkan kedua kapal provokator. Saat jarak tinggal 200 yard, Nala bermanuver ke kanan, memanfaatkan ruang di lambung kanan. Selanjutnya melakukan gerakan ke kanan lagi dengan haluan 90. Ketika hampir mencapai arah 90, kembali cikar kanan menuju haluan 270.
Manuver taktis itu membuat posisi KRI Nala kini berada di belakang kedua kombatan Sekutu tanpa terjadi tabrakan. Sebuah permainan adu nyali dengan dasar ketrampilan profesional pelaut ulung baru saja berlangsung di Laut Timor.
HMAS Sydney dan HMS Glasgow seolah menjadi mainan. Persis seperti pemain bola menggocek lawan dengan tetap menguasai bola di kaki. Lawan pun terkecoh. Kedua kapal perang Sekutu kemudian putar haluan menuju Pulau Kambing.
Sedangkan KRI Nala tetap berpatroli di perairan itu sebelum bergerak ke Kupang mengawal kapal angkut pasukan yang sudah meninggalkan Pelabuhan Dili. KRI Nala bersama KRI Teluk Banten dan KRI Teluk Penyu merupakan kapal perang terakhir Indonesia yang meninggalkan Timor Timur.
(Disarikan dari buku biografi Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio: “Kesadaran Baru Maritim” oleh Rajab Ritonga)
Komentar