Banjir bandang jelang kemarau: absennya data dan mengapa sering berulang?

Kolom251 Dilihat

Yopi Ilhamsyah, Universitas Syiah Kuala dan Cut Azizah, Universitas Almuslim

Saat sekitar seperempat wilayah Indonesia mulai musim kemarau awal April lalu, banjir bandang–meluapnya air secara tiba-tiba dengan debit air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai–masih terjadi di Bengkulu (30 orang tewas), Sigi Sulawesi Tengah, dan terakhir di Konawe Utara Sulawesi Tenggara.

Akhir Maret lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengakhiri periode darurat banjir bandang di Sentani Papua, yang menewaskan 77 orang dan hampir 7000 orang jadi pengungsi dadakan.

Beberapa riset menunjukkan dua faktor alam dapat menyebabkan banjir bandang, yaitu cuaca dan kemiringan lereng. Tapi kita tidak bisa menyangkal bahwa banjir bandang adalah bencana buatan manusia. Deforestasi, alih fungsi lahan yang cepat di hulu bertanggung jawab atas munculnya banjir bandang.

Karena itu, selain mencegah penggundulan hutan, pemerintah harus mengembangkan peringatan dini berbasis nilai ambang batas curah hujan dan durasinya untuk mengatasi banjir bandang.

Mitigasi banjir bandang

Banjir tidak bisa kita hindari, tapi dampaknya bisa dikurangi dengan mitigasi yang tepat.

Di Amerika, Badan Kelautan dan Atmosfer Amerika Serikat (NOAA) merilis peringatan banjir bandang berdasarkan prediksi dan durasi hujan yang dapat diakses secara real-time untuk mengurangi risiko akibat banjir bandang. Mereka juga memasang rambu-rambu peringatan di tepi sungai dan bukit di daerah rawan banjir bandang.

Di Eropa, sumber data hidrometeorologi yang dipublikasikan dalam Journal of Hydrology terbitan Maret 2009 menginventarisasi 500 banjir bandang yang terkait dengan aspek geografi, meteorologi, hidrologi dan hidrolika untuk mengungkap karakteristik historis banjir bandang. Data ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk memprediksi banjir bandang yang akan datang.

Bagaimana di Indonesia? Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki data resmi banjir bandang.

BNPB lebih menekankan pada bantuan pascabencana. Sementara Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) belum melayani prediksi banjir bandang secara khusus.

Untuk memonitor historis banjir dan tanah longsor secara umum, BNPB menyediakan informasi di situsnya, tapi tidak secara khusus menjelaskan kejadian banjir bandang.

Air bah mematikan

Tidak adanya peringatan dini, respons yang lemah dari indikasi alam dan waktu yang terbatas untuk mengingatkan masyarakat menjadikan banjir bandang bencana paling merusak bagi masyarakat yang tinggal di tepi sungai. Dampaknya menjadi masif ketika lingkungan terdegradasi.

Annual Disaster Statistical Review 2014 yang disusun oleh Pusat Penelitian Epidemiologi Bencana (CRED) Catholic University of Louvain (UCL) Belgia secara global melaporkan angka kematian yang tinggi akibat banjir bandang, mencapai 5.000 orang per tahun.

Di Indonesia, menurut CRED, dari 7.000 banjir yang terjadi dalam satu dekade terakhir, 10% berasal dari banjir bandang.

Belum ada data total kematian dalam satu dekade terakhir akibat banjir bandang di negeri ini, tapi setiap kali kejadian banjir bandang, ada banyak kematian. Yang paling parah terjadi pada November 2003 di lokasi wisata Bukit Lawang, Bahorok, Sumatera Utara. Korban tewas 200 orang.

Banjir bandang di daerah aliran sungai (DAS) Kali Putih dan Denoyo, Jember, Jawa Timur pada 2 Januari 2006 menewaskan lebih dari 100 orang dan di Wasior Papua Barat 2010 memakan korban tewas lebih dari 110 orang.

Menilik dari seringnya pemberitaan banjir bandang, tampaknya tren banjir bandang di Indonesia meningkat dan ini menimbulkan kekhawatiran.

Selain menyebabkan kematian, banjir bandang berdampak pada kerugian ekonomi yang besar. Kerugian yang disebabkan banjir bandang Tamiang Aceh 2006 mencapai Rp1 triliun, setara dengan Anggaran Kabupaten (APBK) 2,5 tahun.

Dibandingkan dengan genangan akibat banjir konvensional, kerugian akibat banjir bandang tetap lebih besar.

Faktor cuaca dan kemiringan lereng

Dalam kasus Sentani, Kepala BNPB Doni Monardo mengidentifikasi beberapa faktor di balik banjir bandang tersebut, yaitu hujan dengan intensitas tinggi (240 milimeter selama lebih dari lima jam) dan degradasi lahan di pegunungan Cycloop. Dia juga menyoroti bahwa kemiringan lereng di dataran tinggi tersebut berkisar antara 40-90 derajat.

Sejumlah riset memang menunjukkan cuaca dan kemiringan lereng dapat menyebabkan banjir bandang. Curah hujan yang intens menyebabkan lereng menjadi tidak stabil dan bergerak ke bawah, menimbulkan longsoran. Saat longsoran ini jatuh ke badan sungai, menyebabkan sungai terbendung. Ketika “bendungan” di sungai ini runtuh karena tekanan yang kuat, terjadilah banjir bandang, air bergerak dengan kecepatan tinggi rata-rata mencapai 300 km per jam. Aliran air bah ini juga membawa tanah, batu, kayu dan pohon.

Studi ilmiah mengungkapkan geologi pegunungan yang berisi batu dan lapisan tanah yang tipis akan mudah longsor jika vegetasi hilang.

Curah hujan ekstrem, pembalakan liar, transformasi lingkungan yang berlebihan di bukit/pegunungan terlihat di kejadian terlihat dari pengalaman banjir bandang mematikan pada masa lalu seperti di Bukit Lawang, Wasior, Tamiang, dan Tangse Aceh. Faktor-faktor ini adalah penyebab khas banjir bandang di Indonesia.

Perubahan iklim membuat siklus hidrologi (hujan dan penguapan air) yang diakibatkan oleh memanasnya suhu muka laut bergerak lebih cepat, berdampak pada bencana hidrometeorologis yang sering terjadi.

Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) 2013 memproyeksikan peningkatan intensitas hujan sebesar 17% di daerah tropis.

Jadi, penting untuk mengidentifikasi dan memetakan karakteristik banjir bandang yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia, apakah ini benar-benar karena faktor alam atau manusia. Curah hujan ekstrem, pembalakan liar, transformasi lingkungan yang berlebihan di bukit/pegunungan adalah penyebab khas banjir bandang di Indonesia.

Saatnya bertindak

Pada 2019 Kementerian Lingkungan Hidup menekankan pada rehabilitasi sekitar 207.000 hektar tanah dan DAS termasuk reboisasi dataran tinggi yang rentan terhadap tanah longsor dan banjir.

Selain itu, untuk kesiapsiagaan bencana, Presiden Joko Widodo meminta Kementerian Pendidikan memasukkan mitigasi bencana menjadi bagian dari kurikulum nasional.

Inisiatif pemerintah untuk mitigasi bencana perlu dihargai. Namun itu belum cukup.

Peringatan dini berbasis nilai ambang batas curah hujan sangat mendesak untuk dikembangkan. Kita perlu tahu berapa banyak hujan dan berapa lama yang diperlukan untuk memicu banjir bandang, menjadikan hal-hal tersebut indikator penting untuk diukur. Di sisi lain, identifikasi daerah rawan longsor, terutama lereng-lereng curam di daerah hulu adalah sangat penting.

Tercatat banjir bandang di Bukit Lawang 2003 terjadi akibat tanah longsor dengan kemiringan lereng 30-70 derajat. Di daerah seperti itu, rambu-rambu peringatan di tepi sungai serta rute evakuasi dan konstruksi sipil yang ramah lingkungan, misalnya pembangunan jembatan dan proyek-proyek pertambangan serta suksesi hutan sangat mendesak.

Kawasan bernilai konservasi tinggi harus dilindungi dengan peraturan ketat. Memberdayakan petani yang tinggal di sekitar sungai, yang merupakan pelindung DAS, perlu diwujudkan. Tujuannya untuk menyelamatkan lingkungan dengan biaya yang relatif rendah bahkan di daerah dengan aksesibilitas yang buruk.

Upaya petani-petani tersebut untuk mencegah intervensi awal terhadap mereka yang ingin mengkonversi lahan sampai revegetasi dan upaya mempertahankan fungsi ekologis harus dihargai. Pemerintah dapat memberikan insentif untuk kegiatan agroforestri petani pelindung DAS tersebut.

Untuk mencegah banjir bandang berulang, pemerintah dan masyarakat perlu mengembangkan pengelolaan dan perlindungan DAS berbasis masyarakat menuju pelestarian lingkungan terpadu.

Yopi Ilhamsyah, Lecturer in Meteorology, Universitas Syiah Kuala dan Cut Azizah, Dosen Teknik Sipil, Universitas Almuslim

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Komentar