Pelaut ADIPATI l Kalitbang INDOMARITIM l Kalitbang APUDSI I CEO TRUST l Presiden SPI l Volunteer INMETA
Asia Tenggara saat ini sedang menghadapi gelombang ketidakstabilan politik yang menyebar di berbagai negara, memicu kekhawatiran akan masa depan demokrasi, keamanan regional, dan arah kebijakan energi kawasan. Tiga negara dengan latar belakang politik yang sangat berbeda—Vietnam, Bangladesh, dan Filipina—kini menjadi sorotan karena dinamika domestik mereka yang sarat konflik, kekerasan, dan konsekuensi geopolitik yang luas.
Vietnam: Kembali ke Nuklir dan Diplomasi Energi dengan Rusia
Vietnam, yang selama ini dikenal stabil secara politik, mengejutkan dunia dengan memulai kembali program tenaga nuklir yang sempat dibatalkan hampir satu dekade lalu. Dalam kunjungan kenegaraan ke Moskow, Presiden Vietnam To Lam dan pemerintah Rusia menyepakati percepatan negosiasi pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di bawah kemitraan strategis kedua negara.
Proyek ini tidak hanya berimplikasi pada ketahanan energi Vietnam yang tengah berjuang memenuhi permintaan listrik untuk pertumbuhan ekonominya yang cepat, tetapi juga memperkuat poros diplomatik Hanoi-Moskow di tengah ketegangan geopolitik global. Kerja sama ini mencakup pula perluasan industri minyak dan gas, serta pasokan gas alam cair dari Rusia ke Vietnam, memperdalam ketergantungan Hanoi pada energi Rusia saat negara-negara Barat justru menjauh.
Namun, langkah ini juga menyiratkan risiko. Masuknya teknologi nuklir ke Asia Tenggara dapat memicu kekhawatiran tentang proliferasi, pengelolaan limbah, dan keamanan radiasi, apalagi dengan standar transparansi yang belum sekuat negara-negara maju. Jika proyek nuklir tidak dikendalikan dengan ketat, kawasan dapat menghadapi risiko baru yang tidak hanya teknis, tetapi juga strategis.
Bangladesh: Kudeta Sipil dan Pengadilan Politik Massal
Di sisi barat kawasan, Bangladesh tengah bergulat dengan krisis konstitusional besar. Pemerintah sementara yang dipimpin oleh peraih Nobel Perdamaian Muhammad Yunus telah melarang seluruh aktivitas Partai Awami League—partai penguasa sebelumnya dan simbol utama sejarah kemerdekaan negara itu—dengan menggunakan Undang-Undang Anti-Terorisme.
Penangkapan mantan Perdana Menteri Sheikh Hasina, pelarangan partai, serta amandemen Undang-Undang Pengadilan Kejahatan Internasional yang memungkinkan penuntutan terhadap partai politik secara kolektif menandai transisi dramatis menuju politik represi yang dilegalkan. Dalam lanskap demokrasi yang semula kuat, tindakan ini bisa mempercepat polarisasi sosial dan membuka pintu bagi kekerasan yang lebih besar, terutama jika simpatisan Awami League terpinggirkan tanpa jalur politik.
Kekhawatiran meningkat bahwa Bangladesh bisa mengalami spiral konflik internal seperti yang terjadi di negara-negara lain dengan demokrasi yang rapuh. Sementara itu, pemerintah baru menghadapi tekanan untuk menstabilkan situasi sebelum pemilu yang ditunda hingga 2026, di tengah kecaman internasional atas pelanggaran hak politik dan kebebasan sipil.
Filipina: Bentrokan Dinasti dan Pemilu Berdarah
Filipina menghadapi pemilu paruh waktu yang berubah menjadi medan pertempuran antara dua dinasti politik terkuat di negara itu: keluarga Marcos dan keluarga Duterte. Konflik memuncak setelah Wakil Presiden Sara Duterte dimakzulkan oleh DPR atas dugaan kejahatan berat, termasuk dugaan plot pembunuhan terhadap Presiden Ferdinand Marcos Jr. Ayahnya, mantan Presiden Rodrigo Duterte, saat ini ditahan oleh Mahkamah Pidana Internasional atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam perang narkoba berdarahnya.
Pemilu kali ini menjadi ajang menentukan arah politik negara ke depan, dengan hasil Senat yang dapat menyelamatkan atau menghancurkan karier politik Sara Duterte. Ketegangan meningkat dengan tudingan kecurangan pemilu, pelabelan oposisi sebagai teroris, dan meningkatnya kekerasan bersenjata. Setidaknya 16 orang dilaporkan tewas dalam rangkaian kekerasan politik menjelang pemilu, dan aparat keamanan dikerahkan dalam jumlah besar.
Kondisi ini menunjukkan bagaimana pemilu di Filipina telah berubah menjadi titik nyala konflik politik dan sosial yang semakin mengkhawatirkan. Dengan adanya figur seperti Duterte yang masih sangat populer di daerah-daerah tertentu, namun diburu oleh hukum internasional, negara ini kini berada di ambang ketegangan konstitusional yang berkelanjutan.
Masa Depan Geopolitik Asia Tenggara
Tiga negara ini mencerminkan pola umum yang kini menghantui Asia Tenggara: konsolidasi kekuasaan di tengah klaim reformasi, polarisasi tajam di antara elite, meningkatnya represi terhadap oposisi, dan politisasi lembaga hukum. Dalam semua kasus, potensi kekerasan politik tidak bisa dikesampingkan, apalagi di negara-negara dengan sejarah konflik yang belum sepenuhnya usai.
Dari sisi internasional, negara-negara besar seperti Rusia, Amerika Serikat, dan Tiongkok tengah memantau dan bahkan turut serta dalam dinamika ini melalui aliansi energi, diplomasi militer, dan pengaruh politik. Vietnam merapat ke Rusia untuk ketahanan energi, Bangladesh menantang tatanan demokrasi liberal, dan Filipina bergulat dengan dilema antara kepentingan nasional, keadilan internasional, dan stabilitas politik dalam negeri.
Asia Tenggara tengah berada dalam titik kritis yang akan menentukan bentuk politik dan keamanan kawasan di dekade mendatang. Ketika demokrasi diuji, energi dipolitisasi, dan kekerasan menjadi bagian dari proses politik, negara-negara ASEAN perlu bersikap lebih tegas dalam menjaga prinsip-prinsip hukum dan perdamaian. Tanpa hal itu, kawasan yang selama ini dikenal stabil dan bertumbuh bisa berubah menjadi medan konflik baru dalam geopolitik global.








Komentar