Benteng Senyap Nusantara: AI, Drone Laut, dan Perlombaan Melindungi Infrastruktur Maritim Indonesia

Pelaut ADIPATI  l Kalitbang INDOMARITIM  l  Kalitbang APUDSI  I CEO TRUST  l Presiden SPI  l  Volunteer INMETA

Bagi Eropa dan NATO, keduanya kini menjadi prioritas strategis. Namun di Asia Tenggara—khususnya Indonesia—ancaman dan peluang ini sedang bergerak ke titik kritis. Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, jalur pelayaran global yang padat, dan posisi strategis di Indo-Pasifik, Indonesia tidak bisa menghindar dari perlombaan ini.

Dari Atlantik hingga Natuna: Lintasan Ancaman yang Sama

Di Atlantik Utara, kapal selam Rusia dan Tiongkok memaksa NATO memperbarui sistem anti-submarine warfare (ASW) mereka. Di Baltik, lalu lintas kapal yang padat menciptakan “kamuflase akustik” bagi operasi sabotase bawah laut terhadap pipa energi dan kabel data. Kondisi ini sejatinya tidak asing bagi Indonesia:

  1. Laut Natuna Utara memiliki aktivitas kapal dagang dan militer yang tinggi, termasuk patroli kapal Tiongkok.
  2. Selat Malaka adalah jalur pelayaran tersibuk kedua di dunia, rawan menjadi “tirai kebisingan” yang bisa dimanfaatkan penyusup bawah laut.
  3. Jalur pipa dan kabel bawah laut menghubungkan Indonesia ke jaringan energi dan komunikasi global, tetapi banyak berada di area dengan pengawasan terbatas.

Ancaman ini bersifat senyap, multi-domain, dan seringkali sulit dibuktikan. Dengan teknologi *uncrewed underwater vehicles* (UUV) berdaya tahan panjang, penyusupan bisa dimulai dari jauh, bahkan dari perairan negara lain, sebelum mendekati target.

AI dan Armada Tanpa Awak: Senjata Baru di Laut

Di NATO, transformasi ASW sedang dipacu oleh AI, sensor fusion, dan armada autonomous surface vessels (ASV) maupun XLUUV. Sistem ini memadukan data sonar, radar, satelit, dan sensor akustik untuk mendeteksi ancaman jauh sebelum masuk zona kritis. Bagi Indonesia, teknologi ini relevan untuk:

  1. Pengawasan jalur kabel dan pipa bawah laut di Natuna, Maluku, dan Papua yang jauh dari pangkalan militer.
  2. Patroli perbatasan laut luas tanpa menguras jam layar kapal perang.
  3. Reaksi cepat terhadap ancaman penyelam atau drone bawah laut di pelabuhan strategis seperti Tanjung Priok, Bitung, dan Sorong.

Seperti yang telah diterapkan oleh beberapa angkatan laut Eropa, IDS (Intruder Detection Sonar) bisa diintegrasikan ke USV berkecepatan tinggi untuk mendeteksi dan mengusir penyusup bawah laut. Sementara, DAS (*Distributed Acoustic Sensing*) yang memanfaatkan kabel serat optik bisa digunakan untuk mendeteksi gangguan di jalur kabel bawah laut.

Kesenjangan dan Tantangan Indonesia

Meski TNI AL telah mulai memodernisasi armada dengan drone permukaan dan bawah laut (contoh: kontrak dengan Exail Technologies untuk sistem mine countermeasure), perlindungan infrastruktur maritim nasional belum menjadi program terintegrasi yang masif. Tantangannya meliputi:

  1. Luas area pengawasan – zona ekonomi eksklusif Indonesia mencakup 6 juta km² laut.
  2. Keterbatasan kapal patroli dan pesawat maritim – sulit mengawasi secara permanen.
  3. Regulasi dan koordinasi lintas instansi – perlindungan kabel bawah laut melibatkan TNI AL, Bakamla, Kemenhub, dan operator swasta.
  4. Alih teknologi – sistem AI-ASW memerlukan infrastruktur data dan SDM yang mumpuni.

Prediksi dan Rekomendasi Strategis

Melihat tren global dan ancaman yang berkembang, Indonesia kemungkinan akan:

  1. Mengintegrasikan ASW dan seabed protection dalam satu doktrin pertahanan laut terpadu. → Tidak lagi memisahkan antara perlindungan kapal dan perlindungan infrastruktur dasar laut.
  2. Memperluas jaringan sensor tetap dan bergerak → Memasang IDS dan DAS di pelabuhan strategis, lalu melengkapi celahnya dengan USV/ASV yang berpatroli otomatis.
  3. Mendorong alih teknologi AI maritim → Kolaborasi seperti PT PAL–Roketsan atau Fincantieri–PMM perlu diarahkan juga ke bidang sensor fusion dan kendali otonom, bukan hanya sistem senjata.
  4. Membangun armada drone laut nasional → Dengan basis produksi di dalam negeri, meminimalisasi ketergantungan impor dan memastikan kesiapan cepat dalam krisis.

Mencegah Sebelum Terjadi

Keamanan maritim Indonesia di dekade ini bukan lagi sekadar menjaga perairan dari kapal asing. Tantangan terbesar adalah mengamankan yang tak terlihat : kabel yang menyalurkan miliaran gigabyte data, pipa yang membawa energi, dan rute bawah laut yang menopang perdagangan global.

Pelajaran dari NATO jelas: di laut, diam bisa mematikan, tapi teknologi cerdas bisa membuat kita selalu lebih dulu melihat, mendengar, dan bertindak. Jika Indonesia memulai transformasi ini sekarang, ia tidak hanya akan menjaga kedaulatan wilayah, tapi juga menjadi pemain utama dalam arsitektur keamanan maritim Indo-Pasifik.

 

Komentar