Support by SAMUDRA PELAUT TRUST DESA
IHSG menembus rekor 8.000. Pasar modal merayakan, grafik-grafik melesat, dan euforia menyapu ruang perdagangan. Namun, di balik gegap gempita itu, ada nada sumbang: sektor perbankan justru melemah. Perbankan adalah tulang punggung likuiditas dan pembiayaan ekonomi riil. Ketika ia terpuruk di tengah reli, itu ibarat bendera yang berkibar gagah, tetapi tiangnya ditancapkan pada pondasi keropos. Pertumbuhan seperti ini lebih banyak ditopang sektor tertentu—komoditas dan teknologi—sementara fondasi ekonomi menyisakan celah rapuh. Kerentanan itu diperparah oleh ketergantungan pada modal asing. Rupiah yang tertekan akibat sentimen global akan memicu kenaikan harga impor pangan dan energi.
Di tengah cuaca ekstrem, konflik distribusi, dan perebutan sumber daya, ancaman krisis pangan global semakin nyata. Namun, di sela-sela tantangan itu, muncul gagasan yang berakar pada kekuatan geografis kita: Marine-Based Granary (MBG). Program ini adalah prototipe “dapur umum nasional” berbasis desa pesisir—simpul distribusi pangan yang tetap beroperasi ketika jalur logistik utama terhenti. Desa maritim bukan lagi hanya penjaga perbatasan laut, melainkan benteng ketahanan pangan yang menghubungkan hasil laut, garam, dan komoditas strategis ke wilayah darat.
Membaca Proyeksi Tiga Tahun Kedepan
2025–2026: IHSG tinggi, bank lambat pulih, rupiah mendekati Rp17.000/USD, harga pangan naik 8–12%. Desa MBG mulai menopang distribusi beras dan ikan.
2026–2027: Krisis pangan global memuncak, ekspor bahan pokok dibatasi. MBG berperan sebagai gudang darurat, menyalurkan hasil laut ke desa-desa pedalaman.
2027–2028: Tekanan geopolitik di Asia Pasifik mengganggu perdagangan laut. Inflasi pangan berpotensi menembus dua digit, tetapi desa dengan MBG yang terintegrasi pertanian lokal mampu menjaga pasokan.
Maka, kemerdekaan yang kita rayakan setiap 17 Agustus tidak hanya milik masa lalu. Ia adalah janji untuk berdiri di atas kaki sendiri—dari pasar modal hingga dapur rakyat. Bendera merah putih bukan sekadar kain yang dikibarkan, melainkan simbol tekad bahwa setiap jengkal tanah dan laut menjadi benteng. Bahwa di tengah badai global, kita memilih untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga memastikan rakyat tetap makan, energi tetap ada, dan harga diri bangsa tetap tegak. Merdeka bukan sekadar lepas dari penjajahan fisik, melainkan lepas dari ketergantungan yang membuat kita rapuh. Dan di situlah, dari lantai bursa hingga dermaga desa, arti kemerdekaan menemukan maknanya kembali.
Antara Pusat Perhatian dan Ujian Ketahanan
Di forum-forum ekonomi dunia, Indonesia kerap disebut sebagai rising star Asia Tenggara—pasar domestik besar, sumber daya alam melimpah, dan posisi strategis di jalur perdagangan global. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kita tetap di atas rata-rata global, bahkan ketika banyak negara maju tersandung resesi. Namun, di balik optimisme itu, para analis global juga mencatat titik rawan yang tidak bisa diabaikan. Ketergantungan pada arus modal asing membuat pasar keuangan Indonesia sensitif terhadap gejolak eksternal. Posisi kita sebagai eksportir komoditas besar memberi keuntungan saat harga naik, tetapi menjadi beban saat harga jatuh.
Rupiah termasuk mata uang yang paling cepat bereaksi terhadap sentimen global, baik positif maupun negatif. Di meja-meja riset bank investasi, Indonesia dipandang sebagai negara yang “tumbuh di atas ombak” — memanfaatkan momentum, tetapi rentan terguncang badai. Namun, justru karena posisi strategis inilah Indonesia punya peluang langka: memimpin arsitektur ketahanan pangan dan energi di kawasan. Potensi maritim yang belum tergarap maksimal menjadi kartu truf yang dilihat oleh mitra internasional sebagai modal geopolitik sekaligus ekonomi.
Program seperti Marine-Based Granary berpeluang menjadi contoh bagi negara kepulauan lain, sekaligus memperkuat citra Indonesia sebagai negara yang tidak hanya kaya sumber daya, tetapi juga cerdas mengelolanya. Dengan kata lain, dunia melihat Indonesia sebagai kapal besar yang sedang berlayar di perairan penuh arus deras. Tantangannya: memastikan nakhoda dan awak kapal bekerja serempak, bukan hanya menjaga layar tetap tegak, tetapi juga memastikan semua penumpang sampai ke tujuan dengan selamat—dan bahkan membawa pulang cerita kemenangan.
Merayakan Hari Kemerdekaan dengan Optimisme
Di Hari Kemerdekaan ini, langkah strategis yang perlu diambil Indonesia harus berpijak pada realisme ancaman sekaligus keberanian memanfaatkan peluang. Fondasi ekonomi domestik harus diperkuat dengan mengurangi ketergantungan pada arus modal jangka pendek dan memperbesar investasi dari dalam negeri. Sektor perbankan, UMKM, dan koperasi perlu menjadi motor pembiayaan ekonomi riil agar pertumbuhan tidak hanya bertumpu pada pasar modal.
Dalam hal ketahanan pangan dan energi, program MBG layak ditingkatkan menjadi agenda nasional, menargetkan ribuan desa pesisir dan desa sungai terintegrasi pada 2030, sehingga cadangan pangan dan energi tersedia di tingkat komunitas untuk mengantisipasi krisis logistik global. Infrastruktur maritim dan digital juga harus dimodernisasi—mulai dari pelabuhan kecil, cold storage, hingga sistem distribusi berbasis teknologi—untuk memastikan suplai pangan dan energi mengalir lancar ke seluruh pelosok negeri.
Pada saat yang sama, Indonesia dapat memanfaatkan posisinya di ASEAN dan G20 untuk memimpin diplomasi pangan dan energi, membangun jalur perdagangan aman di masa krisis, dan menjalin kemitraan riset dengan negara kepulauan lain. Gerakan nasional “Merdeka dari Ketergantungan” perlu digalakkan, mendorong masyarakat mengurangi konsumsi impor yang kritis, memperkuat konsumsi produk lokal, serta memanfaatkan lahan kosong untuk produksi pangan rumah tangga.
Kemerdekaan sejati bukan hanya lepas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari keterikatan yang membuat kita rapuh. Indonesia akan benar-benar merdeka ketika mampu makan dari tangannya sendiri, berdagang dengan aturannya sendiri, dan melindungi rakyatnya dari badai global dengan kapalnya sendiri. Di tengah arus deras dunia, itulah bendera yang sesungguhnya kita kibarkan di HUT RI ke 80: lambang kemandirian, kekuatan, dan persatuan dari pasar modal hingga dapur rakyat.








Komentar