Persona Hacktivist: Tantangan Geopolitik dan Strategi Keamanan Siber untuk Kedaulatan Digital Indonesia

Catatan Diplomasi Politik Pelaut Nuswantara

Pelaut ADIPATI  l Kalitbang INDOMARITIM  l  CEO TRUST  l Presiden SPI  l  Volunteer INMETA

Di era digital yang semakin kompleks, ancaman siber tidak lagi terbatas pada kelompok kriminal independen atau individu dengan motivasi politik tertentu. Fenomena persona hacktivist, yang sering digunakan oleh negara-bangsa untuk mengaburkan tanggung jawab atas serangan siber, telah menjadi alat strategis dalam dinamika geopolitik. Persona ini memungkinkan negara untuk menyerang infrastruktur kritis di negara lain sambil menyebarkan narasi politik yang menguntungkan mereka, tanpa memicu tanggapan langsung dari komunitas internasional.

Laporan Claroty pada 10 Desember 2024 lalu telah mengungkap gerakan kelompok Cyber Av3ngers di awal tahun 2025 ini yang terbukti menggoncang pertahanan sistem keamanan dunia. Meski mengklaim sebagai organisasi independen, kelompok ini diduga memiliki hubungan erat dengan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran. Serangan mereka, yang menargetkan perangkat Internet-of-Things (IoT) dan sistem SCADA (Supervisory Control and Data Acquisition), telah menciptakan gangguan besar pada infrastruktur penting seperti sektor energi dan air di Amerika Serikat dan Eropa. Hal ini menegaskan bahwa serangan siber tidak hanya menjadi ancaman teknis tetapi juga instrumen geopolitik.

Bagi Indonesia, yang infrastruktur kritisnya semakin bergantung pada teknologi canggih seperti SCADA, ancaman serangan siber ini tidak dapat diabaikan. Sebagai negara yang strategis di jalur perdagangan internasional, Indonesia menghadapi risiko yang besar jika sistem vitalnya disusupi oleh aktor siber yang berniat merusak stabilitas ekonomi atau keamanan nasional. Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam melindungi infrastrukturnya. Rivalitas antara Amerika Serikat dan China di bidang teknologi, misalnya, menempatkan Indonesia di persimpangan penting. Pilihan mitra strategis untuk penyediaan perangkat SCADA tidak hanya berdampak pada efisiensi dan biaya, tetapi juga pada keamanan data dan ketahanan nasional.

Disis lain, ketergantungan pada teknologi impor meningkatkan risiko manipulasi oleh negara asing. Fakta yang sebenarnya adalah meningkatnya serangan siber terhadap sistem SCADA. Pengalaman global menunjukkan bahwa serangan ini dapat menyebabkan gangguan operasional besar-besaran, seperti pemadaman listrik atau gangguan pasokan air, yang pada gilirannya memengaruhi kehidupan masyarakat luas. Untuk menghadapi ancaman ini, Indonesia perlu merumuskan kebijakan yang komprehensif. Salah satu langkah penting adalah mendorong penelitian dan pengembangan teknologi nasional sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada negara asing, Indonesia dapat memperkuat kedaulatan digitalnya.

Selain itu, pemerintah harus meningkatkan keamanan siber dengan mengadopsi standar internasional dan melatih tenaga kerja di bidang ini. Pengintegrasian SCADA dengan teknologi terbaru seperti IoT, kecerdasan buatan, dan big data juga dapat meningkatkan efisiensi operasional sekaligus mengurangi risiko serangan. Kerja sama internasional dan regional juga harus diperkuat. Sebagai anggota ASEAN, Indonesia memiliki peluang untuk memimpin inisiatif keamanan siber regional, menciptakan standar bersama, dan memperkuat posisi dalam rantai pasokan teknologi global.

Persona hacktivist yang sering menjadi alat negara-bangsa dalam serangan siber global adalah pengingat akan pentingnya kesiapan Indonesia dalam menghadapi ancaman ini. Dengan memperkuat infrastruktur digital, meningkatkan keamanan siber, dan menjalin kemitraan strategis, Indonesia dapat melindungi aset vitalnya dan memastikan stabilitas di tengah lanskap geopolitik yang semakin dinamis. Investasi dalam teknologi lokal dan kerja sama lintas sektor akan menjadi kunci bagi Indonesia untuk tetap tangguh dan kompetitif di era digital.

Komentar