Momentum Pemulihan Nama Baik Bung Karno dan Visi Kepemimpinan Indonesia di Era Geopolitik Global

Catatan Diplomasi Politik Pelaut Nuswantara

Pelaut ADIPATI  l Kalitbang INDOMARITIM  l  CEO TRUST  l Presiden SPI  l  Volunteer INMETA

Pidato Ketum PDIP Megawati dalam ulang tahun perayaan HUT ke-52 PDI Perjuangan di Jakarta pada Jumat (10/1/2025), menyampaikan terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto atas respons positif terhadap surat dari pimpinan MPR RI terkait pemulihan nama baik Bung Karno. Sebuah momentum yang menandai babak baru konstelasi kepemimpinan di Indonesia bahwa kekuatan politik Banteng Moncong Putih akan menopang landasan terbangnya Burung Garuda dalam menghadapi tantangan geopolitik global.

Dalam pidatonya, Megawati memuji ketahanan Bung Karno dalam menghadapi tekanan besar selama masa akhir kepemimpinannya. Ia menegaskan bahwa pelurusan sejarah ini bukan hanya pengakuan terhadap jasa Bung Karno, tetapi juga langkah penting untuk menghormati fondasi bangsa yang ia bangun. Sejarah perjalanan bangsa Indonesia penuh dengan pergolakan, konflik, dan transformasi yang melibatkan para pemimpinnya. Dari Bung Karno sebagai nation builder hingga masa reformasi dan kini era Presiden Prabowo Subianto, setiap fase mencerminkan perjuangan untuk menavigasi tantangan zaman. Pemulihan nama baik Bung Karno oleh Presiden Prabowo dan dukungan Megawati Soekarnoputri menjadi momen penting dalam upaya meluruskan sejarah bangsa.

Bung Karno memikul beban besar sebagai nation builder yang menyatukan Indonesia dari beragam suku, agama, dan budaya. Ia menghadapi konflik panjang bersama Bung Hatta untuk membangun dasar persatuan bangsa, meskipun terkadang terjadi perbedaan visi. Namun, tragedi 1965 menjadi titik balik dalam perjalanan politiknya, mengakhiri kepemimpinannya di tengah tuduhan pengkhianatan. Tuduhan ini akhirnya dicabut melalui pencabutan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967, yang direspons oleh Presiden Prabowo Subianto, sebagaimana disampaikan Megawati dalam pidatonya di HUT PDIP ke-52.

Konsep Ekonomi Benteng yang digagas oleh Soemitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, pada awal 1950-an, menjadi salah satu upaya awal untuk memperkuat posisi ekonomi pribumi dalam menghadapi dominasi asing. Dengan visi yang sejalan dengan prinsip keadilan sosial, Soemitro menekankan pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Ia mendorong industrialisasi untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas nasional, dan memperkuat ketahanan ekonomi rakyat.

Visi ini menjadi relevan dalam konteks pelurusan sejarah Bung Karno, yang juga memperjuangkan kemandirian bangsa melalui politik ekonomi berdikari. Seperti yang ditegaskan Soemitro, kemampuan membaca tanda-tanda zaman adalah kunci bagi para pendahulu bangsa untuk membangun fondasi yang kokoh. Tanpa visi visioner seperti itu, Indonesia mungkin tidak akan pernah muncul sebagai negara merdeka.

Setelah Bung Karno, perjalanan bangsa dilanjutkan oleh Pak Harto, yang dikenal sebagai state builder. Fokusnya pada pembangunan ekonomi dan stabilitas politik membawa Indonesia memasuki era pembangunan yang pesat. Namun, era ini juga diwarnai oleh korupsi struktural dan ketergantungan pada utang luar negeri, yang akhirnya memaksanya mundur pada 1998. Masa transisi yang diwarnai oleh kepemimpinan BJ Habibie, Gus Dur, dan Megawati membuka era reformasi yang membawa perubahan besar, seperti desentralisasi, kebebasan berserikat, dan sistem multipartai. Namun, tantangan utama seperti korupsi dan ketimpangan ekonomi masih belum terselesaikan secara signifikan.

Di bawah Presiden SBY, stabilitas politik dan pengakuan internasional kembali menguat. Namun, demokrasi Indonesia diuji kembali di era Presiden Jokowi, dengan kritik terhadap lemahnya komitmen pada nilai-nilai demokrasi, seperti terlihat pada dinamika politik terkini. Sebagai Presiden, Prabowo Subianto tidak hanya melanjutkan visi politik bebas aktif, tetapi juga mengambil langkah penting untuk meluruskan sejarah. Responsnya terhadap surat pimpinan MPR RI tentang pemulihan nama baik Bung Karno mencerminkan komitmennya untuk menghormati perjuangan para pendahulu bangsa.

Namun, tantangan besar tetap ada. Ketidakstabilan geopolitik global, ketegangan di Timur Tengah, gangguan rantai pasokan, dan ancaman keamanan siber menuntut kepemimpinan yang visioner. Dalam konteks ini, warisan Soemitro Djojohadikusumo melalui Ekonomi Benteng dapat menjadi inspirasi untuk memperkuat kemandirian ekonomi Indonesia. Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menegaskan bahwa ekonomi global pada 2025 menghadapi tantangan berat. Ketidakstabilan geopolitik, termasuk ketegangan di Timur Tengah, gangguan rantai pasokan, dan ancaman keamanan siber, menjadi faktor utama yang memengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi dunia.

Konflik di Timur Tengah, seperti serangan milisi Houthi di Laut Merah, telah mengganggu jalur perdagangan global, memaksa kapal-kapal dagang mengalihkan rute melalui Tanjung Harapan. Hal ini meningkatkan biaya logistik dan memengaruhi harga minyak dunia. Sementara itu, pemogokan pekerja pelabuhan di Amerika Serikat dan lonjakan tarif perdagangan menambah tekanan pada rantai pasokan global. Ancaman keamanan siber juga semakin mengkhawatirkan, dengan serangan terhadap sistem logistik global yang berpotensi melumpuhkan arus barang dan meningkatkan biaya operasional. Lonjakan harga barang, termasuk produk elektronik, bahan kimia, dan minyak bumi, diperkirakan mencapai 20%, memberikan tekanan besar pada konsumen global.

Sejarah para pemimpin Indonesia menunjukkan bahwa visi dan keberanian adalah kunci untuk menghadapi tantangan zaman. Bung Karno membangun fondasi persatuan, Pak Harto membawa pembangunan ekonomi, dan reformasi membuka jalan bagi demokrasi. Kini, era Prabowo menawarkan peluang untuk mengonsolidasikan pelajaran dari masa lalu sambil menghadapi tantangan masa depan. Di tengah ketidakstabilan geopolitik global, Indonesia memiliki peluang strategis untuk berperan aktif dalam menciptakan tatanan ekonomi global yang lebih stabil dan inklusif.

Sebagai negara maritim dengan posisi strategis di persimpangan dua samudra, Indonesia memiliki peluang besar untuk memainkan peran sentral dalam rantai pasokan global dan diplomasi ekonomi. Upaya ini dapat dilakukan dengan memperkuat infrastruktur maritim dan logistik, seperti pengembangan pelabuhan kelas dunia dan optimalisasi tol laut, sekaligus memanfaatkan jalur perdagangan strategis sebagai leverage diplomasi ekonomi di forum internasional. Selain itu, pengembangan ekonomi biru yang berkelanjutan, seperti budidaya perikanan, pariwisata bahari, dan energi terbarukan, dapat memperkuat peran Indonesia dalam rantai pasokan global serta menarik investasi asing melalui zona ekonomi eksklusif.

Komunitas Pelaut Nuswantara di awal tahun 2025 telah menegaskan akan mendukung pemerintahan Prabowo untuk mewujudkan kembali kedaulatan maritim dan geopolitik bebas aktif Indonesia. Dengan menjalin kemitraan internasional untuk transfer teknologi dan stabilitas regional, serta mendorong kepemimpinan global dalam perdagangan berkelanjutan, Indonesia juga dapat meningkatkan pendidikan dan inovasi di sektor maritim untuk mendukung transformasi ekonomi. Dengan visi strategis dan kebijakan yang tepat, Indonesia berpotensi menjadi penghubung utama dalam rantai pasokan global sekaligus pemimpin diplomasi ekonomi yang berkelanjutan.

 

Komentar