Peningkatan Permintaan Mineral untuk Transisi Energi: Dampaknya pada Industri Perkapalan

Catatan Diplomasi Politik Pelaut Nuswantara

Pelaut ADIPATI  l Kalitbang INDOMARITIM  l  CEO TRUST  l Presiden SPI  l  Volunteer INMETA

Laporan terbaru dari International Finance Corporation (IFC) milik Bank Dunia menyoroti kebutuhan besar akan peningkatan pasokan mineral seperti nikel dan tembaga untuk mencapai tujuan global nol emisi bersih (net-zero) pada tahun 2050. Peningkatan permintaan ini tidak hanya berdampak pada industri pertambangan dan manufaktur, tetapi juga pada industri perkapalan, yang memainkan peran krusial dalam rantai pasokan global.

Peran Industri Perkapalan dalam Rantai Pasokan Mineral
Industri perkapalan adalah tulang punggung perdagangan global, termasuk dalam transportasi mineral-mineral kritis seperti nikel, tembaga, dan kobalt. Mineral-mineral ini digunakan dalam berbagai teknologi hijau, termasuk baterai kendaraan listrik (EV), panel surya, dan turbin angin. Dengan meningkatnya permintaan, volume pengiriman mineral ini melalui jalur laut diperkirakan akan melonjak.

Namun, tantangan muncul ketika pertambangan mineral ini sering kali dilakukan di lokasi terpencil, seperti di Indonesia, yang merupakan produsen nikel terbesar di dunia. Untuk mengangkut bijih nikel dari tambang ke pabrik pengolahan atau pasar global, kapal-kapal pengangkut barang curah (bulk carriers) dan kapal kontainer memainkan peran penting. Peningkatan aktivitas ini dapat menyebabkan peningkatan lalu lintas kapal, terutama di wilayah seperti Asia Tenggara, yang sudah padat dengan aktivitas pelayaran.

Dampak Lingkungan pada Industri Perkapalan
Sementara industri perkapalan sendiri sedang berupaya mengurangi emisi karbon melalui regulasi seperti IMO 2023 (Organisasi Maritim Internasional), yang menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 40% pada tahun 2030, peningkatan volume pengiriman mineral dapat menambah tekanan pada upaya ini.

Penambangan nikel di Indonesia, misalnya, telah dikaitkan dengan deforestasi dan polusi air akibat penggunaan batu bara untuk peleburan. Jika praktik ini terus berlanjut, industri perkapalan yang mengangkut mineral ini dapat menghadapi kritik karena menjadi bagian dari rantai pasokan yang tidak berkelanjutan. Selain itu, limbah beracun dari proses pengolahan nikel, seperti yang dihasilkan oleh metode high-pressure acid leaching (HPAL), dapat mencemari perairan laut, memengaruhi ekosistem laut dan meningkatkan risiko bagi kapal yang melintas.

Regulasi Uni Eropa dan Tantangan bagi Pelayaran
Uni Eropa (UE) telah memperkenalkan regulasi ketat melalui Kesepakatan Hijau Eropa (EU Green Deal) dan Undang-Undang Bahan Baku Kritis (Critical Raw Materials Act), yang mewajibkan perusahaan untuk memastikan bahwa rantai pasokan mereka ramah lingkungan dan menghormati hak asasi manusia. Perusahaan pelayaran yang beroperasi di UE atau mengangkut barang ke UE harus memastikan bahwa muatan mereka memenuhi standar keberlanjutan ini.

Misalnya, jika UE membatasi impor nikel yang dihasilkan melalui proses tidak berkelanjutan, perusahaan pelayaran mungkin harus memilih untuk tidak mengangkut mineral tersebut atau menghadapi risiko reputasi dan hukum. Hal ini dapat mendorong industri perkapalan untuk lebih selektif dalam memilih muatan dan bekerja sama dengan pemasok yang mematuhi praktik ramah lingkungan.

Peluang untuk Industri Perkapalan Hijau
Di sisi lain, transisi energi global juga membuka peluang bagi industri perkapalan untuk berinovasi. Kapal-kapal berbahan bakar alternatif, seperti ammonia, hidrogen, atau listrik, dapat menjadi solusi untuk mengurangi emisi karbon. Selain itu, teknologi digital seperti kecerdasan buatan (AI) dan blockchain dapat digunakan untuk memantau dan melacak asal-usul muatan, memastikan bahwa mineral yang diangkut diproduksi secara berkelanjutan.

Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar, juga dapat memanfaatkan peluang ini dengan mengembangkan infrastruktur pelabuhan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Misalnya, pelabuhan yang dilengkapi dengan fasilitas pengisian bahan bakar alternatif atau sistem pengelolaan limbah yang lebih baik dapat menarik minat perusahaan pelayaran global yang ingin mematuhi standar keberlanjutan.

Kolaborasi Internasional untuk Masa Depan Berkelanjutan
Untuk mengatasi tantangan ini, kolaborasi internasional sangat penting. Kemitraan Keamanan Mineral (Mineral Security Partnership) yang melibatkan Indonesia, UE, dan 14 negara lainnya adalah langkah awal yang baik. Kemitraan ini bertujuan untuk mempercepat pengembangan rantai pasokan mineral kritis yang berkelanjutan, termasuk dalam hal transportasi laut.

Industri perkapalan dapat menjadi mitra strategis dalam upaya ini dengan mengadopsi praktik ramah lingkungan, memastikan bahwa muatan mereka memenuhi standar keberlanjutan, dan berinvestasi dalam teknologi hijau. Dengan demikian, industri perkapalan tidak hanya akan berkontribusi pada transisi energi global, tetapi juga memastikan bahwa mereka tetap relevan dalam ekonomi masa depan yang berkelanjutan.

Peningkatan permintaan mineral untuk transisi energi menciptakan tantangan dan peluang bagi industri perkapalan. Sementara tekanan untuk mengurangi emisi dan memastikan keberlanjutan semakin besar, inovasi dalam teknologi dan kolaborasi internasional dapat membantu industri ini mengatasi tantangan tersebut. Dengan mengambil peran aktif dalam mendukung rantai pasokan yang berkelanjutan, industri perkapalan dapat menjadi bagian integral dari upaya global menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Komentar