Pelaut ADIPATI l Kalitbang INDOMARITIM l Kalitbang APUDSI I CEO TRUST l Presiden SPI l Volunteer INMETA
Malam itu, cahaya bulan Syawal bersinar lembut di atas Selat Malaka. Udara dipenuhi aroma laut yang khas, bercampur dengan wangi rempah dari kapal-kapal dagang yang berlabuh di pelabuhan Aceh. Malahayati, sang Laksamana Inong Balee, berdiri tegap di geladak kapalnya, menatap lautan luas yang selama ini menjadi medan perjuangannya. Besok adalah Idul Fitri, hari kemenangan bagi umat Islam setelah sebulan penuh berpuasa. Namun, bagi Malahayati dan pasukannya, kemenangan sejati bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, melainkan juga mempertahankan tanah air dari penjajah yang terus mengintai.
Malahayati: Laksamana Perempuan Pertama di Dunia
Malahayati bukan hanya seorang pejuang, tetapi juga simbol ketangguhan perempuan dalam sejarah maritim Nusantara. Sejak muda, ia telah mengenyam pendidikan militer di Mahad Baitul Maqdis, akademi maritim Kesultanan Aceh yang setara dengan sekolah tinggi angkatan laut masa kini. Kepemimpinannya sebagai laksamana diperoleh setelah kematian suaminya dalam pertempuran melawan Portugis. Bersama pasukan Inong Balee—kesatuan perang yang beranggotakan janda-janda pejuang—Malahayati bertekad untuk membalas dendam terhadap penjajah yang telah merenggut nyawa suami mereka.
Sejarah mencatat, Malahayati berhasil mengalahkan Cornelis de Houtman dalam pertempuran laut yang epik pada tahun 1599. Keberhasilannya membuat Aceh semakin diperhitungkan di panggung politik dan ekonomi maritim dunia. Dengan armada yang kuat dan strategi yang cemerlang, ia menjadikan Selat Malaka sebagai benteng pertahanan terakhir dari ancaman Eropa.
Teknologi Kapal Perang Aceh: Keunggulan Maritim Nusantara
Armada laut Kesultanan Aceh dikenal memiliki kapal-kapal perang yang tangguh dan berteknologi maju untuk zamannya. Salah satu kapal andalan yang digunakan oleh Laksamana Malahayati adalah “Ghaleueng”, sejenis kapal besar khas Aceh yang dibuat dari kayu ulin dan jati terbaik. Kapal ini memiliki ukuran sekitar 30-50 meter dan mampu membawa puluhan hingga ratusan pasukan. Struktur lambungnya diperkuat dengan teknik sambungan yang membuatnya tahan terhadap gempuran ombak dan tembakan meriam musuh. Selain itu, kapal ini dilengkapi dengan meriam buatan Turki dan Persia, serta pasukan pemanah dan pejuang bersenjata rencong serta pedang yang siap bertempur di dek kapal jika terjadi pertempuran jarak dekat.
Keunggulan lain dari kapal ini adalah sistem navigasinya yang memungkinkan kapal bergerak cepat dan lincah di perairan sempit maupun terbuka. Dengan layar besar dan dayung yang dikendalikan oleh puluhan awak kapal, “Ghaleueng” mampu bermanuver untuk mengepung atau menghindari musuh. Bagi Malahayati, lautan bukan hanya jalur perdagangan, tetapi juga ladang perjuangan untuk menegakkan keadilan. Kapalnya bukan sekadar alat perang, tetapi juga simbol pertahanan umat dan kemerdekaan. Kapal ini menjadi rumah bagi pasukan Inong Balee, tempat mereka beribadah, berdiskusi strategi, dan bahkan merayakan hari besar seperti Idul Fitri dalam semangat jihad fisabilillah.
Idul Fitri di Tengah Ancaman Penjajah
Saat gema takbir berkumandang dari Masjid Raya Baiturrahman, sebuah kapal dagang Aceh bergegas merapat ke pelabuhan dengan kabar mendesak. “Laksamana, armada Belanda mendekati perairan kita! Mereka ingin menyerang saat kita lengah di hari raya!” Malahayati menatap tajam ke arah laut. Ia tahu, Belanda sering menggunakan taktik licik seperti ini—menyerang saat pasukan lawan sedang merayakan hari besar. Namun, ia tidak akan membiarkan Aceh tunduk di hadapan mereka. Dengan cepat, Malahayati mengumpulkan pasukan Inong Balee. Mereka adalah para perempuan tangguh, para janda pejuang yang suami mereka telah gugur dalam pertempuran melawan Portugis dan Belanda.
Di tengah malam, armada Belanda yang dipimpin oleh Kapten de Haan mendekati perairan Aceh. Mereka mengira rakyat Aceh sedang lengah dalam perayaan Idul Fitri. Namun, mereka salah besar. Begitu fajar menyingsing, kapal-kapal perang Aceh yang dipimpin Malahayati bergerak cepat, menerjang armada Belanda dengan manuver tak terduga. Pasukan Inong Balee, dengan keberanian luar biasa, bertempur di geladak kapal-kapal musuh. Malahayati sendiri turun ke medan perang, menghadapi Kapten de Haan dalam duel di atas kapal utama Belanda. Dengan satu tebasan pedangnya yang tajam, ia menewaskan sang kapten, membuat moral pasukan Belanda runtuh. Dalam waktu singkat, sisa armada Belanda yang kehilangan pemimpinnya memilih mundur, meninggalkan perairan Aceh dengan kekalahan yang memalukan.
Kemenangan yang Hakiki
Setelah pertempuran usai, Malahayati kembali ke daratan. Pagi itu, rakyat Aceh berkumpul di masjid, melaksanakan salat Id dengan penuh syukur. Mereka tahu bahwa kemenangan ini bukan hanya kemenangan di medan perang, tetapi juga bukti bahwa Allah selalu bersama mereka yang berjuang dengan keimanan. Seusai salat, Malahayati dan pasukannya berkumpul. Dengan tangan bergetar karena kelelahan, mereka saling berpelukan, meminta maaf satu sama lain dalam tradisi Idul Fitri yang penuh makna. Meski baru saja melewati pertempuran sengit, hati mereka dipenuhi kedamaian.
Di langit Aceh, mentari Syawal bersinar cerah. Lautan yang baru saja menjadi saksi pertempuran kini tampak tenang, seperti ikut merayakan kemenangan para pejuang. Dan di sanalah, di tengah rakyatnya, Malahayati berdiri tegak. Ia tahu, perjuangan belum selesai. Tapi untuk hari ini, ia dan pasukannya telah mendapatkan hadiah Idul Fitri yang paling berharga: kebebasan dan kehormatan.
Warisan Malahayati untuk Nusantara
Perjuangan Malahayati bukan hanya tentang mengusir penjajah, tetapi juga tentang menanamkan semangat keberanian dan kemandirian di hati bangsa. Ia membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin, bahwa perlawanan bukan hanya milik kaum lelaki, dan bahwa perjuangan membela tanah air adalah bagian dari ibadah. Hingga kini, namanya tetap harum sebagai simbol keberanian, strategi militer, dan keteguhan hati. Sejarahnya tidak hanya tertulis dalam buku, tetapi juga menginspirasi generasi penerus untuk selalu mempertahankan kehormatan dan kebebasan tanah air.
Dalam gema takbir yang masih bergema, semangat Malahayati terus hidup di lautan Nusantara. Seperti ombak yang tak pernah lelah menghantam pantai, begitu pula semangat perjuangan yang diwariskannya kepada kita semua.
Komentar