Di Ambang Perang Nuklir atau Perdamaian: Trump, Iran, dan Pertaruhan Nasib Timur Tengah

Catatan Diplomasi Politik Pelaut Nuswantara

Pelaut ADIPATI  l Kalitbang INDOMARITIM  l  Kalitbang APUDSI  I CEO TRUST  l Presiden SPI  l  Volunteer INMETA

3 April 2025 Iran resmi menarik semua personel militernya dari Yaman. Keputusan berat Iran untuk mengurangi risiko konfrontasi langsung dengan Amerika Serikat setelah komandan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), tewas dalam operasi AS yang sedang berlangsung mengamankan semua kepentingan Israel diperbatasan Yaman.

Presiden Donald Trump, di periode keduanya, menghadapi lanskap geopolitik Timur Tengah yang semakin kompleks. Sementara Iran tampak dalam posisi terlemahnya sejak 1979—secara ekonomi tertekan, secara diplomatik terisolasi, dan secara militer terdorong bertahan—rezim di Teheran belum menyerah. Sebaliknya, mereka tetap mempertahankan ambisi nuklirnya dan mengandalkan kekuatan jaringan proksi untuk menjaga pengaruh regional. Dalam situasi ini, pilihan Trump menjadi krusial dan penuh konsekuensi: meneruskan tekanan maksimal atau membuka jalan bagi diplomasi nuklir baru.

Strategi Bertahan Iran: Mundur untuk Maju

Langkah Iran menarik. Ketika AS meluncurkan serangan terhadap Houthi di Yaman, Iran merespons bukan dengan perlawanan langsung, tapi dengan penarikan taktis. The Telegraph melaporkan bahwa Iran menarik personel militernya dari Yaman, sebuah langkah yang bertujuan mencegah jatuhnya korban dari kalangan elite militer seperti komandan IRGC. Ini bukan bentuk kelemahan, melainkan manuver politik untuk menghindari eskalasi yang dapat menggagalkan negosiasi nuklir yang sedang berjalan.

Namun, penting dicatat: Iran tidak menghentikan dukungannya terhadap kelompok proksi. Pendekatan ini hanya perubahan taktik, bukan strategi. Iran tahu bahwa eksistensinya sebagai kekuatan regional terikat pada proksinya di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman. Strategi “forward defense” masih menjadi inti kebijakan keamanannya.

Trump dan Opsi Strategis: Militer vs. Diplomasi

Trump berada di persimpangan. Di satu sisi, ada tekanan dari sekutu seperti Israel dan faksi hawkish di Washington untuk menghancurkan infrastruktur nuklir Iran lewat serangan udara gabungan. Opsi ini, meskipun tak mustahil, sangat berisiko. Banyak situs nuklir Iran seperti Fordow dibangun jauh di bawah tanah, dan sekalipun dihancurkan, ilmu serta kemampuan rekayasa nuklir Iran tak bisa dihapus begitu saja.

Serangan semacam ini berpotensi mendorong Iran keluar dari ambiguitas strategis menuju pengembangan senjata nuklir secara terbuka. Rezim bisa memanfaatkan situasi untuk memperkuat represi domestik, menumpas oposisi, dan membungkus kebijakan dalam narasi “melawan musuh luar.”

Alternatifnya adalah diplomasi. Pembicaraan tidak langsung di Muscat, dan potensi negosiasi lanjutan di Roma dengan mediator Italia, menandai celah untuk merintis kesepakatan baru. Namun ini pun bukan tanpa tantangan. Iran menuntut agar stok uranium tetap di dalam negeri dengan pengawasan IAEA, sebagai jaminan terhadap potensi penarikan AS di masa depan. Masalah kepercayaan masih menjadi batu sandungan utama.

Arab Saudi: Pendekatan Baru dalam Kebijakan Regional

Di tengah meningkatnya ketegangan, Arab Saudi mengambil pendekatan pragmatis. Alih-alih menyambut konfrontasi dengan Iran, Riyadh kini lebih memilih diplomasi, bahkan berambisi menjadi mediator antara Washington dan Teheran. Langkah ini didorong oleh kesadaran akan tingginya risiko eskalasi regional dan pentingnya menjaga stabilitas domestik.

Tiga pendekatan utama Saudi terlihat: mengutuk potensi serangan terhadap Iran untuk menjaga netralitas, mengecam Israel demi meredam opini publik domestik, dan menawarkan diri sebagai mediator untuk menjaga pengaruh diplomatiknya. Semua ini menunjukkan betapa Riyadh mulai melihat kepentingan jangka panjangnya lebih selaras dengan de-eskalasi daripada konflik terbuka.

Implikasi Regional dan Global

Jika AS dan Israel meluncurkan serangan terhadap Iran, konsekuensinya akan jauh melampaui medan tempur. Proksi Iran di Irak, Suriah, dan Lebanon kemungkinan besar akan membuka front baru. Serangan balasan terhadap aset dan pasukan AS di kawasan hampir bisa dipastikan terjadi. Ketidakstabilan ini bisa menghambat misi AS di kawasan, mengguncang pasar energi global, dan menciptakan peluang bagi aktor lain—seperti Rusia dan China—untuk meningkatkan pengaruhnya.

Dari sisi global, keterlibatan militer skala besar di Timur Tengah akan menyedot sumber daya militer dan intelijen AS, menjauhkan fokus dari prioritas strategis seperti Indo-Pasifik dan penahanan terhadap China. Biaya jangka panjang dari kampanye militer seperti ini dapat menimbulkan dilema besar bagi kebijakan luar negeri AS.

Timur Tengah dalam Titik Kritis

Iran saat ini lemah secara relatif, tapi bukan tidak berdaya. Jaringan proksinya melemah, tetapi belum punah. Trump memiliki kesempatan untuk mencetak warisan diplomatik atau menjerumuskan kawasan ke dalam konflik besar. Pilihannya akan mencetak arah masa depan Timur Tengah: jalan menuju kesepakatan dan stabilitas jangka panjang, atau konfrontasi militer yang berisiko memperburuk kekacauan regional.

Apa pun jalannya, satu hal pasti: pendekatan setengah hati tidak akan cukup. Iran, dengan segala kelemahannya, tetap pemain yang rasional, tahan banting, dan strategis. Diplomasi basa-basi AS hanya akan membangkitkan kekuatan militer yang terukur untuk Iran, khususnya reaktor Nuklir yang sedang dipersiapkan untuk memusnahkan Israel. Saat fondasi kebijakan AS melemah, disanalah perang dunia ketiga dimulai.

Komentar