Kanal Funan Techo: Ketika Jalur Air Menjadi Garis Kekuatan

Catatan Diplomasi Politik Pelaut Nuswantara

Pelaut ADIPATI  l Kalitbang INDOMARITIM  l  Kalitbang APUDSI  I CEO TRUST  l Presiden SPI  l  Volunteer INMETA

Presiden Cina Xi Jinping dan Perdana Menteri Kamboja Hun Manet menandatangani 37 perjanjian kerja sama yang mencakup investasi, perdagangan, dan infrastruktur, dengan kesepakatan kanal Funan Techo yang disusun sebagai kemitraan publik-swasta di mana investor Cina akan membiayai 49% dari biaya proyek senilai $1,7 miliar, … The Phnom Penh Post 18 April 2025

Geostrategic Maritime Chronicle dalam Wajah Baru Asia Tenggara

Di pagi yang berembun di provinsi Kandal, Kamboja, sebuah jalur air mulai membelah tanah dengan tenang. Ia tidak mengaum seperti misil atau menggetarkan seperti armada, tapi kehadirannya terasa seperti pisau tipis yang menari di peta Asia Tenggara—tajam, presisi, dan penuh implikasi. Kanal Funan Techo, sepanjang 151,6 kilometer, bukan hanya proyek infrastruktur; ia adalah nadi baru yang berdetak membawa lebih dari sekadar air—ia membawa arah baru kekuasaan.

Dibangun dengan investasi senilai $1,16 miliar, kanal ini membelah jalur pedalaman Kamboja dari Phnom Penh ke Teluk Thailand. Resmi disebut sebagai proyek konservasi air dan logistik domestik, kanal ini secara teknis akan mengurangi ketergantungan Kamboja pada pelabuhan Vietnam. Namun dalam dunia realpolitik, kanal ini adalah pintu gerbang menuju keterhubungan strategis antara daratan Indochina dan Samudera Hindia.

Di laboratorium strategis, para analis menyebutnya sebagai soft corridor with hard consequences. Kanal ini tampak sipil, tapi memiliki struktur yang memungkinkan penggunaan dual-use logistics—jalur distribusi yang dapat dipakai baik untuk ekspor beras maupun muatan militer. Hal ini bukan spekulasi kosong; fakta bahwa proyek ini didanai hampir 49% oleh entitas Tiongkok, dengan rekam jejak pembangunan basis laut Ream di sisi selatannya, menimbulkan satu pertanyaan kunci: untuk siapa air ini benar-benar mengalir?

Bayang-Bayang Ream: Kanal Sebagai Jalur Logistik Strategis

Hanya beberapa jam pelayaran dari ujung kanal, berdirilah Ream Naval Base, yang dalam lima tahun terakhir mengalami ekspansi besar-besaran dengan dukungan Tiongkok. Citra satelit memperlihatkan adanya dermaga baru, hanggar logistik, bahkan sistem pertahanan radar yang tersembunyi di balik vegetasi buatan. Dari sini, kemungkinan keterkaitan antara kanal Funan dan logistik militer menjadi lebih dari sekadar kemungkinan—ia adalah skenario yang tengah berjalan.

Satria Rengganis, seorang analis geospasial muda dari Uniqu Data Vision Corp, menemukan pola truk malam hari dari kanal menuju Ream. Tidak tercatat dalam logistik perdagangan. Tidak disorot media. “Ini bukan jalur beras atau semen,” gumamnya saat memperlihatkan pola itu kepada Pelaut Adipati, pimpinan Ekspedisi  laut Nuswantara. “Kalau mereka hanya ingin menghubungkan pedalaman ke laut, kenapa jalurnya dikunci radar militer?”

Pelaut Adipati hanya menjawab pelan, “Karena di dunia baru ini, kanal bukan lagi hanya untuk mengairi sawah. Ia juga bisa menyuplai kapal.”

ASEAN, Perang Dingin Baru, dan Keheningan yang Berbahaya**

Ketika kanal mulai beroperasi penuh, negara-negara sekitar mulai bergerak dalam diam. Vietnam menambah patroli di delta Mekong. Thailand meningkatkan pengawasan sinyal elektronik di perairan timurnya. Indonesia, melalui satuan tugas rahasia di bawah Poros Maritim Angkatan Laut, mulai menghimpun data, memetakan jalur baru ini sebagai potensi lintasan bayangan.

Namun ASEAN tetap senyap. Tak satu pun negara mengeluarkan kecaman resmi. Diplomasi masih didahulukan, tetapi di balik layar, lahir sebuah koalisi tak formal bernama "Aliansi Lautan Ketiga"—berisi negara-negara maritim yang ingin menjaga keseimbangan di tengah menguatnya pengaruh darat Tiongkok yang kini mulai meluber ke laut lewat kanal.

“Jika kita biarkan kanal ini mengalir tanpa pengawasan, kita akan menyaksikan lahirnya jalur sutra baru bukan dari perdagangan, tapi dari penaklukan diam-diam.”

Kanal sebagai Karakter Sejarah

Dalam narasi besar geopolitik, kanal Funan Techo bukan sekadar infrastruktur. Ia adalah karakter dalam kisah perebutan pengaruh. Sebagaimana kanal Panama dan Terusan Suez pernah menjadi panggung sejarah global, kanal ini pun bisa mengubah kalkulasi maritim Asia Tenggara secara permanen.

Pertanyaannya bukan lagi apakah kanal ini bermanfaat—karena ia memang bisa mengangkat ekonomi Kamboja. Pertanyaannya adalah: siapa yang akan mengendalikan alirannya di saat krisis? Siapa yang memutuskan apa yang boleh dan tidak boleh mengalir melalui kanal ini?

Kita tidak bicara tentang masa depan yang jauh. Kanal ini dibangun hari ini, disambut pidato hari ini, dan akan menjadi pusat gravitasi kekuasaan esok pagi. Ia adalah jalur yang menciptakan poros baru. Dan ketika air mengalir, kekuasaan pun mengikutinya.

Air sebagai Takdir

Air adalah simbol kehidupan, tapi juga simbol kendali. Kanal Funan Techo membuktikan bahwa dalam abad ke-21, perang dan damai tidak lagi dimulai dengan suara senjata, tetapi dengan suara mesin pengeruk tanah. Di Asia Tenggara, kekuatan masa depan tidak lagi datang dari utara atau selatan, tapi dari mereka yang menguasai jalur air buatan, yang tampaknya netral, tapi nyatanya menjadi arteri kekuasaan diam-diam.

Dan seperti kata para Laksamana Nuswantara ..  “Barang siapa mengendalikan air, ia mengendalikan dunia.”

 

Komentar