Pelaut ADIPATI l Kalitbang INDOMARITIM l Kalitbang APUDSI I CEO TRUST l Presiden SPI l Volunteer INMETA
“Indonesia memandang forum ini sebagai platform strategis yang tidak hanya memperkuat kemitraan bilateral, tetapi juga meningkatkan komunikasi, saling pengertian, dan rasa saling percaya antara kedua negara,”
Menteri Sjafrie. Beijing- Senin, 21 April 2025.
Indonesia dan China untuk memperkuat kerja sama maritim dan keamanan di Laut China Selatan terlihat menjanjikan di permukaan. Namun, jika ditelaah lebih dalam, kerja sama ini membuka sejumlah pertanyaan penting: Apakah Indonesia sedang memainkan strategi seimbang antara ekonomi dan kedaulatan? Atau justru tengah terjerat dalam pendekatan diplomasi yang lebih menguntungkan China?
Kepentingan Ekonomi vs. Kedaulatan Maritim
Tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan ekonomi antara Indonesia dan China semakin erat. China adalah mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai perdagangan yang mencapai lebih dari USD 100 miliar per tahun. Proyek-proyek infrastruktur besar seperti kereta cepat Jakarta-Bandung dan pembangkit listrik tenaga surya terapung di Cirata adalah bukti konkret dari investasi China di Indonesia.
Namun, di saat yang sama, Indonesia menghadapi tekanan dari manuver militer dan klaim sepihak China di Laut China Selatan, terutama melalui “sembilan garis putus-putus” yang sebagian melintasi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna.
Contohnya, kapal-kapal nelayan China kerap terlihat memasuki wilayah perairan Indonesia dengan pengawalan kapal penjaga pantai China (China Coast Guard). Dalam beberapa kasus, kapal-kapal ini berkonfrontasi langsung dengan kapal milik TNI AL atau Badan Keamanan Laut (Bakamla). Bahkan, laporan menyebutkan bahwa kapal China telah mengaktifkan perangkat peperangan elektronik (jamming) untuk mengganggu sinyal navigasi kapal patroli Indonesia.
“Kerja Sama” sebagai Alat Kontrol
China secara konsisten menggunakan strategi bilateral untuk menangani sengketa wilayah di Laut China Selatan. Alih-alih menghadapi blok regional seperti ASEAN secara kolektif, China lebih memilih untuk menjalin kerja sama satu per satu dengan negara-negara seperti Filipina, Vietnam, dan kini Indonesia. Ini memungkinkan mereka untuk menghindari tekanan diplomatik yang lebih besar dan mengontrol narasi serta ruang negosiasi.
Misalnya, pada 2016 Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag memutuskan bahwa klaim China atas Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum. Namun, China mengabaikan keputusan tersebut dan tetap melanjutkan pembangunan pulau buatan dan instalasi militer di kawasan yang disengketakan.
Kerja sama yang dibingkai sebagai “pembangunan bersama” atau “pengembangan ekonomi bersama” seringkali dijadikan alat untuk melegitimasi kehadiran mereka di wilayah sengketa. Dalam konteks Indonesia, konsep “joint maritime development” yang disepakati tahun lalu berpotensi membuka pintu bagi pengaruh lebih besar China, jika tidak dibatasi secara tegas.
Ancaman Keamanan Non-Tradisional
Salah satu hal yang patut diapresiasi dari pertemuan Indonesia–China terbaru adalah pengakuan bersama terhadap ancaman non-tradisional, seperti terorisme, kejahatan siber, dan kejahatan lintas negara. Laut China Selatan juga dikenal sebagai wilayah rawan pembajakan. Banyak kapal yang dicuri, dicat ulang, dan diberi identitas baru di pelabuhan-pelabuhan kecil di Asia Tenggara—praktik yang sulit dideteksi.
Namun, lagi-lagi, muncul pertanyaan: apakah kerja sama ini bersifat setara? Apakah Indonesia memiliki kapasitas teknologi dan sumber daya yang cukup untuk mengawasi implementasinya? China, misalnya, telah mengembangkan sistem pengawasan maritim terpadu (integrated maritime surveillance system) yang canggih, sementara Indonesia masih bergantung pada pengawasan fisik dan radar konvensional.
Diplomasi Konsuler dan Akses Regional
Langkah Indonesia membuka konsulat di Chengdu, China barat daya, bisa dibaca sebagai strategi memperluas pengaruh diplomatik dan memperkuat hubungan regional. Chengdu memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan Asia Tenggara dan menjadi bagian dari koridor ekonomi China yang berkembang pesat. Langkah ini bisa memperkuat kerja sama perdagangan, pendidikan, dan investasi.
Namun, ini juga bisa dilihat sebagai tindakan penyeimbang di tengah tekanan politik luar negeri. Dengan memperkuat hubungan dengan provinsi-provinsi strategis di China, Indonesia mencoba menavigasi diplomasi dua arah: tetap terbuka terhadap kerja sama ekonomi, sambil berhati-hati terhadap ekspansi geopolitik.
Strategi Seimbang atau Taktik Sementara?
Indonesia sedang berjalan di garis tipis antara kepentingan ekonomi dan pertahanan kedaulatan. Di satu sisi, kerja sama dengan China menawarkan akses ke teknologi, investasi, dan proyek infrastruktur besar. Di sisi lain, tekanan geopolitik dan klaim sepihak China di Laut China Selatan menjadi ancaman nyata.
Jika kerja sama maritim ini tidak dilandasi oleh prinsip transparansi, kejelasan batas wilayah, dan mekanisme pengawasan yang setara, Indonesia berisiko terjebak dalam ketergantungan struktural, baik secara ekonomi maupun keamanan.
Langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa setiap bentuk kerja sama—khususnya yang berkaitan dengan keamanan laut—tidak melemahkan posisi hukum Indonesia atas ZEE dan wilayah kedaulatannya. Dalam konteks ini, kerja sama multilateral melalui ASEAN dan forum Indo-Pasifik mungkin menjadi jalan yang lebih aman untuk menjaga stabilitas kawasan.
Komentar