Support by SAMUDRA PELAUT TRUST DESA
🌱 Ekspedisi Laut Dalam : Menyelami Dunia yang Tak Terlihat
Pagi itu, mentari baru menembus permukaan laut Laut Banda, laut terdalam di Indonesia. Pandanganku tertuju pada jurang biru pekat menganga dengan kedalaman lebih dari 7.000 meter. Ombak kecil berkilau seperti serpihan kaca, dan di balik keheningan air yang tampak biasa saja, sesungguhnya sedang berlangsung kehidupan mikroskopik yang luar biasa. Jutaan mikroalga — makhluk bersel satu yang bahkan tak bisa dilihat mata manusia — sedang berfotosintesis, menyerap karbon dioksida, dan menghasilkan oksigen yang kita hirup setiap hari.
Namun kini, di tengah dunia yang dilanda perubahan iklim, krisis energi, dan kelangkaan pangan, mikroalga tak lagi hanya menjadi bagian dari rantai ekosistem laut. Ia telah menjadi harapan baru umat manusia. Sebuah optimisme untuk Indonesia yang memiliki lebih dari 8.500 spesies mikroalga yang telah teridentifikasi, dan diperkirakan lebih dari 50.000masih belum ditemukan. Setiap perairan — dari Selat Sunda yang sibuk, hingga laguna tersembunyi di Raja Ampat — menyimpan komunitas mikroorganisme yang unik..
Para ilmuwan di berbagai belahan dunia mulai menoleh ke arah sumber daya kecil yang sering terabaikan ini. Dengan bantuan metagenomik dan kecerdasan buatan (AI), mereka menelusuri DNA mikroalga langsung dari air laut, danau, bahkan lumpur pantai — tanpa harus membiakkannya di laboratorium. Hasilnya menakjubkan dengan ditemukan gen, enzim, dan senyawa bioaktif baru yang berpotensi menjadi obat antikanker, biofuel ramah lingkungan, atau bahan kosmetik alami. Dunia bioteknologi kini benar-benar tengah menyelami samudra biodiversitas untuk menemukan “emas hijau” masa depan.
“Setiap tetes air laut menyimpan ribuan kehidupan yang belum pernah kita kenal, dan di sanalah masa depan sains mungkin sedang menunggu untuk ditemukan” … ungkapan spontan dari peneliti laut yang mengikuti kapal ekspedisi laut kami.
⚗️ Cerita dari Kapal NAMRU-2 : Menyelam Lebih Dalam dari Sekadar Sains
Flashback kebelakang 24 Maret 2022 silam, saat kepala pasukan perlindungan radiasi, kimia, dan biologi Rusia Igor Kirillov mencurigai kegiatan Angkatan Laut Amerika Serikat telah melakukan penelitian biologis seriös di Indonesia.  Bertahun-tahun sebelum istilah “bioekonomi biru” menjadi tren global, sekelompok ilmuwan di Indonesia sudah lebih dulu melakukannya, bekerjasama dengan Naval Medical Research Unit Two (NAMRU-2). Walau Rusia menuding aktifitas ini adalah penelitian penelitian senjata biologis seperti yang terjadi di Ukraina sebagai perpanjangan tangan Pentagon. Namun para peneliti Indonesia mendapatkan kesempatan tak hanya mempelajari penyakit tropis, tapi juga mulai menelusuri mikroorganisme laut yang unik di perairan Nusantara — dari laut dalam hingga ekosistem mangrove.
Setiap sampel air yang mereka ambil mengandung potensi luar biasa: mikroba penghasil antibiotik baru, enzim tahan tekanan tinggi, hingga senyawa bioaktif yang dapat menjadi dasar obat masa depan. Dengan teknologi proteomik dan bioinformatika, NAMRU-2 memetakan harta karun genetik laut Indonesia. Laut kita bukan lagi sekadar sumber ikan dan garam, tapi “perpustakaan genetik alam” yang menyimpan inovasi biologis tak ternilai. Di sisi lain, TNI Angkatan Laut (TNI AL) turut menjadi penjaga gerbang penelitian ini. Melalui kolaborasi strategis dengan BRIN dan beberapa Universitas. mereka memadukan sains, keamanan, dan konservasi dalam satu misi: menjaga laut, sekaligus memanfaatkannya dengan bijak.
“Menjaga laut tidak hanya berarti menjaga wilayah .. tetapi juga menjaga masa depan pengetahuan yang lahir dari laut itu sendiri.” .. tutur Laksamana Madya DR. Suradi di MABES TNI AL
🌿 Albitec: Dari Setetes Air Tawar, Tumbuh Harapan Baru
Jika NAMRU-2 menjadi lambang eksplorasi ilmiah, maka PT Alga Bioteknologi Indonesia (Albitec) adalah simbol penerapannya di dunia nyata. Didirikan pada tahun 2020 oleh generasi muda ilmuwan Indonesia dibawah Kepemimpinan Falasifah, Albitec memilih fokus yang tampak sederhana tapi berdampak besar, yaitu spirulina air tawar. Di dalam laboratorium mereka yang terang dan bersih, kolam-kolam hijau berisi kultur mikroalga berdenyut seperti napas kehidupan. Sistem photobioreactor canggih memantau suhu, cahaya, dan pH air secara digital. Di sinilah ribuan mikroalga tumbuh — menyerap karbon dioksida, menghasilkan oksigen, dan menciptakan biomassa bergizi tinggi.
“Kami tidak sekadar menanam spirulina. Kami menanam masa depan,” ujar Falasifah pendiri Albitec dengan senyum yakin. Melalui teknologi ini, Albitec berhasil menyerap 2.000 ton CO₂ per tahun, memproduksi 50 ton spirulina kering, dan mendaur ulang lebih dari 1 juta liter air. Produk mereka kini digunakan dalam suplemen, pakan ternak, kosmetik alami, dan bahkan biofertilizer untuk pertanian berkelanjutan. Dan saat ini meraka bertekad untuk menjadi produsen terdepan dalam mengoptimalkan dan menerapkan manfaat mikroalga di seluruh dunia dengan mengutamakan standar keamanan pangan dalam menjalankan proses produksi dan perdagangan
🌍 Sains untuk Bumi, Ilmu untuk Manusia
Dari balik semua wajah bioteknologi Indonesia, saya bersama tim kkspedisi laut dalam kali ini menyimpulkan betapa pentingnya eksplorasi ilmiah dan implementasi berkelanjutan demi ketahanan pangan nasional kita. Dari kedalaman laut hingga laboratorium modern, dari penelitian genetik hingga pemberdayaan masyarakat, keduanya membawa pesan yang sama — bahwa masa depan bukanlah sesuatu yang datang dari luar, tetapi tumbuh dari apa yang sudah kita miliki di bumi sendiri. Indonesia kini tidak hanya dikenal karena lautnya yang luas atau hutannya yang hijau, tapi juga karena ilmu pengetahuan yang tumbuh dari keduanya.
Dan di tengah arus global yang mencari solusi hijau, suara dari negeri kepulauan ini semakin lantang bahwa harapan bisa lahir dari air, dan kehidupan bisa dimulai dari sesuatu yang sekecil mikroalga.
Dari samudra biru hingga tetes spirulina hijau, Indonesia menulis kisah baru — kisah tentang manusia, sains, dan bumi yang saling menjaga untuk tetap hidup. Pelaut Adipati 2025







Komentar