Pelaut ADIPATI l Kalitbang INDOMARITIM l Kalitbang APUDSI I CEO TRUST l Presiden SPI l Volunteer INMETA
Kunjungan Presiden Tiongkok Xi Jinping ke Vietnam, Malaysia, dan Kamboja bulan April lalu memberi pesan yang jauh lebih besar daripada sekadar diplomasi bilateral. Ini adalah peta jalan kekuasaan Tiongkok di Asia Tenggara—bukan melalui rudal atau kapal perang, tetapi melalui kereta api lintas negara, memorandum dagang, dan komitmen “perdamaian” yang dibungkus rapi dalam retorika kerja sama.
Namun yang paling mencolok adalah ketiadaan Indonesia dalam daftar kunjungan tersebut. Padahal, Indonesia adalah negara dengan garis pantai terpanjang di ASEAN, pengendali selat strategis, dan ekonomi terbesar di kawasan. Banyak pihak mulai bertanya: apakah ini sebuah pengabaian simbolik, atau sinyal bahwa Indonesia kini diposisikan berbeda dalam kalkulasi strategis Beijing?
Jawabannya mungkin: keduanya.
ASEAN: Poros Maritim yang Rapuh
Selama ini ASEAN membanggakan diri sebagai poros kawasan Indo-Pasifik, tetapi faktanya: di Laut Cina Selatan—yang seharusnya menjadi halaman depan kedaulatan maritim—negara-negara ASEAN tampil tanpa arah kolektif. Tiongkok terus memperkuat kehadiran militernya di pulau-pulau sengketa, membangun dermaga dan landasan pacu, sementara negara-negara ASEAN justru sibuk bernegosiasi secara bilateral, saling menutup mata terhadap ekspansi Beijing.
Bahkan negara-negara seperti Kamboja dan Laos terlihat lebih sebagai satelit ekonomi Tiongkok ketimbang mitra independen. Ketika Xi Jinping mengunjungi mereka, pesannya jelas: Tiongkok menginvestasi bukan hanya uang, tetapi dominasi.
Indonesia: Saatnya Keluar dari Bayang-Bayang Simbolisme
Dalam diplomasi, absen bisa berarti lebih banyak daripada hadir. Xi memang menelepon Presiden Prabowo Subianto, menegaskan hubungan strategis. Tapi itu tidak setara dengan kunjungan fisik. Dan jika Jakarta tidak segera membalas dengan strategi aktif, bukan tidak mungkin Indonesia tergelincir menjadi pihak yang hanya bereaksi, bukan mengarahkan.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki modal geografis dan sejarah kelautan untuk mengambil posisi pemimpin di ASEAN. Namun modal ini tidak akan berarti apa-apa jika tidak diimbangi dengan arah kebijakan luar negeri yang jelas. Retorika “poros maritim dunia” yang digaungkan era sebelumnya perlu dihidupkan kembali—kali ini dengan pendekatan yang lebih konkret dan ofensif.
Melampaui Diplomasi: Membangun Aliansi Maritim ASEAN
ASEAN membutuhkan lebih dari sekadar deklarasi damai. ASEAN perlu membangun kerangka kerja nyata—mulai dari latihan patroli laut gabungan, sinergi teknologi pemantauan, hingga pembentukan Maritime Crisis Center untuk merespons insiden di Laut Cina Selatan.
Indonesia bisa memelopori ini. Bukan dengan berteriak paling keras soal kedaulatan, tapi dengan memimpin desain sistem pertahanan maritim regional yang tidak bersandar pada kekuatan luar. Dalam situasi perang tarif AS-Tiongkok, ASEAN akan terus menjadi medan tarik-menarik. Dan hanya melalui kekuatan laut-lah ASEAN bisa menjadi lebih dari sekadar halaman belakang dari dua adidaya itu.
Jangan Biarkan Laut Kita Dijaga Orang Lain
Dalam dunia geopolitik hari ini, laut bukan hanya soal perikanan atau pelayaran—tetapi tentang kedaulatan, pengaruh, dan masa depan ekonomi. Jika ASEAN ingin bertahan sebagai entitas yang bermakna, dan jika Indonesia ingin memainkan peran historisnya sebagai penjaga stabilitas maritim kawasan, maka inilah saatnya untuk berhenti menunggu, dan mulai mengarungi arus geopolitik dengan kapal sendiri.
Xi Jinping telah memetakan jalurnya. Amerika Serikat telah menunjukkan taringnya. Sekarang pertanyaannya adalah: apa yang akan ASEAN—dan terutama Indonesia—lakukan?
Komentar