Ketika Prabowo dan Lawrence Wong Menulis Ulang Peta Kekuatan

Catatan Diplomasi Politik Pelaut Nuswantara

Pelaut ADIPATI  l Kalitbang INDOMARITIM  l  Kalitbang APUDSI  I CEO TRUST  l Presiden SPI  l  Volunteer INMETA

Pada 15 April 2025, Presiden Singapura, Tharman Shanmugaratnam, mengumumkan pembubaran parlemen, yang menandai awal dari transisi kepemimpinan dari era Lee Hsien Loong ke Perdana Menteri Lawrence Wong. Pemilu dini ini bukan hanya sekadar ajang pemilihan umum, melainkan juga sebuah ujian legitimasi bagi generasi keempat (4G) dalam kepemimpinan nasional Singapura. Keputusan tersebut hadir di tengah ketidakpastian global dan tekanan ekonomi domestik yang semakin mendesak kebutuhan untuk memperbarui kebijakan pemerintah. Momen ini juga terjadi bersamaan dengan transisi kekuasaan di Indonesia, di mana Prabowo Subianto diperkirakan akan menggantikan Joko Widodo setelah kemenangan dalam pemilu 2024. Kedua negara yang memiliki karakter politik dan ekonomi yang sangat berbeda ini saling mencerminkan satu sama lain, menciptakan dinamika geopolitik dan ekonomi yang semakin kompleks.

Pemilu Singapura: Stabilitas atau Fragmentasi?

Pemilu dini Singapura mencerminkan sejumlah tantangan signifikan dalam politik domestiknya. Salah satunya adalah kebutuhan bagi PM Lawrence Wong untuk memperoleh legitimasi elektoral, mengingat pada pemilu 2020, Partai Aksi Rakyat (PAP) hanya meraih 61% suara, angka terendah sejak kemerdekaan. Meskipun PAP tetap dominan, pengaruh oposisi, terutama Partai Buruh (WP), semakin meningkat, dengan WP berhasil meraih 10 kursi di parlemen. Pemilu kali ini menjadi ujian bagi Wong untuk mereposisi kebijakan dengan agenda Forward Singapore yang berfokus pada isu-isu sosial seperti perubahan iklim, perumahan, dan ketimpangan digital, yang bertujuan untuk merangkul pemilih muda.

Namun, di balik upaya modernisasi ini, ada kewaspadaan terhadap potensi fragmentasi politik yang bisa mengancam stabilitas jangka panjang Singapura. Di Indonesia, hasil pemilu Singapura dapat membawa dampak langsung terhadap berbagai proyek bilateral, seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), kerja sama energi, dan ekonomi digital. Singapura, yang merupakan pemain kunci di ASEAN, memengaruhi kebijakan Indonesia, terutama dalam isu Laut Cina Selatan dan kebijakan teknologi. Perubahan arah kebijakan di Singapura berpotensi mengubah dinamika regional, termasuk sikap negara kota ini terhadap Indonesia dalam forum multilateral.

Peralihan Kekuasaan di Indonesia: Konsolidasi atau Polarisasi?

Di Indonesia, peralihan kepemimpinan dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto menghadirkan tantangan dan peluang besar. Prabowo, dengan pendekatan nasionalisme ekonomi yang lebih kuat, berusaha meneruskan kebijakan Jokowi, terutama dalam pembangunan infrastruktur dan pembukaan pasar. Namun, terdapat indikasi bahwa ia akan memperketat kontrol terhadap sektor-sektor strategis seperti pangan, pertahanan, dan sumber daya alam. Hal ini bisa berdampak langsung pada hubungan Indonesia dengan negara-negara seperti Singapura, khususnya dalam hal kerja sama ekonomi dan keamanan.

Dalam bidang ekonomi, Indonesia mungkin akan mengubah pendekatannya terhadap investasi asing, mengingat adanya kekhawatiran terhadap ketergantungan pada kapital asing. Relasi dengan Singapura, sebagai investor utama, dapat teruji jika kebijakan baru Prabowo lebih mengarah pada proteksionisme atau pembatasan sektor-sektor tertentu. Selain itu, isu-isu sensitif lainnya, seperti migrasi tenaga kerja dan perjanjian bilateral terkait ruang udara, bisa menjadi tantangan diplomatik yang harus dihadapi kedua negara.

Relasi Strategik: Konvergensi atau Kompetisi?

Kedua negara kini berada di persimpangan dalam hubungan bilateral mereka, dengan tiga area utama yang akan menentukan arah hubungan mereka ke depan.

1. Ekonomi
Singapura tetap menjadi investor terbesar di Indonesia. Namun, dengan perubahan arah kebijakan ekonomi yang diterapkan di kedua negara, muncul pertanyaan besar: apakah kesinambungan hubungan ekonomi tetap terjaga atau akan terjadi penurunan minat investasi? Ketertarikan Singapura dalam proyek energi surya di Batam dan hidrogen hijau di Sumatra bisa terhambat jika Indonesia memperkenalkan kebijakan fiskal atau izin usaha yang lebih ketat.

2. Pertahanan
Kerja sama militer dan pelatihan bersama tetap menjadi kekuatan hubungan kedua negara melalui perjanjian 2023. Meski demikian, ada potensi ketegangan apabila Indonesia merasa Singapura semakin dekat dengan Amerika Serikat dalam aliansi seperti AUKUS atau Quad. Latihan militer yang melibatkan Singapura di kawasan Natuna bisa menjadi isu politik domestik bagi Indonesia jika dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan.

3. Geopolitik ASEAN
Baik Singapura maupun Indonesia mendukung stabilitas kawasan, meskipun dengan pendekatan yang berbeda. Singapura lebih mengedepankan kerjasama internasional dan globalisme, sedangkan Prabowo memprioritaskan nasionalisme dan kemandirian strategik Indonesia. Perbedaan ini dapat menambah kompleksitas dalam dinamika politik ASEAN, yang membutuhkan keharmonisan antara negara-negara besar di kawasan.

Proyeksi dan Skenario Strategik: Membangun Kerangka Diplomatik yang Tahan Uji

Singapura dan Indonesia kini memasuki periode transisi yang penuh tantangan, dengan setiap negara menghadapi tantangan domestik yang besar. Oleh karena itu, kedua negara perlu membangun kerangka diplomatik yang lebih tahan uji dan adaptif terhadap perubahan politik di dalam negeri serta dinamika global yang terus berkembang. Kerja sama di bidang ekonomi, pertahanan, dan diplomasi kawasan harus terus didorong agar tidak terhambat oleh perubahan politik yang terjadi di masing-masing negara.

PM Lawrence Wong dan Prabowo Subianto akan memegang peran krusial dalam menentukan arah hubungan strategik kedua negara ini. Stabilitas kawasan, arsitektur pertahanan regional, dan integrasi ekonomi ASEAN sangat bergantung pada bagaimana kedua pemimpin ini mengelola tantangan domestik dan global yang ada. Masa depan tatanan Indo-Pasifik yang terbuka, inklusif, dan stabil sangat bergantung pada kemampuan kedua negara untuk beradaptasi dengan perubahan politik dan menjaga kerja sama bilateral yang saling menguntungkan.

Komentar