Pelaut ADIPATI l Kalitbang INDOMARITIM l Kalitbang APUDSI I CEO TRUST l Presiden SPI l Volunteer INMETA
Dalam satu manuver yang mengguncang dunia, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menunjukkan pendekatan kebijakan dagangnya yang tak terduga. Hanya sehari setelah memberlakukan tarif tinggi terhadap puluhan negara, ia tiba-tiba mengumumkan penundaan sementara selama 90 hari—kecuali untuk Tiongkok, yang justru mendapatkan kenaikan tarif impor menjadi 125%. Langkah mendadak ini tidak hanya menimbulkan kejutan, tetapi juga memunculkan pertanyaan besar: ke mana arah perang dagang ini sebenarnya?
Keputusan ini diumumkan pada Rabu malam, 9 Mei 2025, waktu Washington, di tengah gejolak pasar yang luar biasa. Bursa saham global rontok, volatilitas keuangan memuncak, dan imbal hasil obligasi AS melonjak tajam. Trump, dalam gaya khasnya, mengakui bahwa reaksi pasar menjadi alasan utama di balik langkah mundurnya. “Saya melihat tadi malam bahwa orang-orang mulai merasa mual,” katanya kepada media. “Pasar obligasi sekarang tampak indah.”
Efek langsung dari pernyataan tersebut memang terasa. Indeks saham S&P 500 mencatat lonjakan 9,5%—kenaikan harian tertinggi sejak krisis finansial 2008. Obligasi AS mulai stabil, dan dolar menguat terhadap mata uang-mata uang safe haven. Namun euforia pasar tak menghapus ketegangan geopolitik yang masih menyala.
Politik Tarif Bergaya Trump: Ancaman, Tunda, Tekan
Sejak kembali ke Gedung Putih pada Januari 2025, Trump kembali membawa gaya lama: ancam terlebih dahulu, negosiasi belakangan. Tarif dijadikan alat tekanan, bukan hanya dalam konteks ekonomi, tetapi juga diplomatik. Dengan menawarkan kelonggaran kepada negara-negara yang “kooperatif” dan menekan mereka yang melawan, Trump memainkan pola klasik stick and carrot dalam skala global.
Tarif dasar 10% tetap diberlakukan untuk hampir seluruh barang impor. Sementara itu, tarif tambahan atas mobil, baja, dan aluminium tidak ikut ditangguhkan. Lebih dari 75 negara kini berada dalam antrean untuk bernegosiasi dengan Washington, dari Jepang, Korea Selatan, hingga Vietnam. Tapi China—pemasok terbesar kedua barang ke AS—tetap jadi sasaran utama.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menyebut strategi ini sebagai bentuk kontrol penuh atas arah diplomasi global. Ia menyatakan bahwa China kini berada dalam “jebakan” Trump: tertekan untuk merespons, namun juga berisiko kehilangan muka dan posisi tawar.
Efek Domino ke Ekonomi Dunia
Meski pasar saham tampak pulih, fondasi ekonomi riil tetap terguncang. Survei menunjukkan belanja rumah tangga dan investasi bisnis mulai melambat. Tiga dari empat warga AS percaya harga-harga akan naik, memperkuat kekhawatiran akan inflasi dan daya beli yang melemah. Goldman Sachs pun menurunkan estimasi probabilitas resesi AS dari 65% menjadi 45%, namun tetap memperingatkan bahwa tarif yang masih berlaku akan cukup untuk menahan laju pertumbuhan.
Indonesia: Di Tengah Gelombang
Indonesia tak luput dari dampak manuver ini. Sejak pengumuman tarif resiprokal awal April lalu, Indonesia termasuk dalam daftar negara dengan surplus perdagangan tinggi terhadap AS—dan langsung dikenai tarif tambahan sebesar 32%. Ekspor produk unggulan seperti elektronik, garmen, alas kaki, dan furnitur terkena imbas langsung.
Di Batam, produsen elektronik mulai menunda pengiriman. Di Bandung, pelaku industri tekstil melaporkan mulai ada pembatalan pesanan dari pembeli AS. Investor asing mulai bersikap hati-hati, terutama di sektor ekspor, dan mulai mengalihkan modal ke proyek-proyek domestik yang lebih aman. Di sisi pasar keuangan, Rupiah tertekan, pasar saham kehilangan momentum, dan investor global menarik dana dari instrumen obligasi Indonesia.
Pemerintah Indonesia bergerak cepat. Dalam koordinasi lintas otoritas KSSK, disusun strategi untuk menghadapi dampak jangka pendek dan menengah. Beberapa opsi mencakup peningkatan impor dari AS untuk menurunkan surplus, memperluas kerja sama dengan negara-negara BRICS dan Timur Tengah, serta memperkuat instrumen safeguard untuk melindungi industri domestik dari limpahan produk murah luar negeri.
Namun beban terberat justru dirasakan di daerah-daerah. Kalimantan dan Sumatera, yang ekonominya bertumpu pada komoditas seperti batu bara dan CPO, terpukul akibat turunnya permintaan global. Di Jawa, industri padat karya seperti garmen dan elektronik mengurangi jam kerja. Bagi masyarakat, ini bukan hanya soal angka neraca dagang—tetapi tentang lapangan kerja, daya beli, dan ketahanan sosial.
Babak Baru Diplomasi Ekonomi
Tarif dagang kini telah bergeser dari sekadar isu ekonomi menjadi instrumen diplomasi. Trump menggunakan tarif sebagai alat tawar untuk isu yang jauh lebih luas—dari bantuan luar negeri, kerja sama pertahanan, hingga pengaruh politik global. Pendekatan ini meninggalkan pola lama multilateralisme dan memaksa negara-negara untuk menegosiasikan posisi mereka secara bilateral, di bawah tekanan.
Bagi Indonesia, ini berarti satu hal: harus gesit dan strategis. Tidak hanya merespons dalam kerangka dagang, tetapi juga dalam konteks diplomasi geopolitik yang lebih luas. Ketika satu negara mengubah aturan main secara sepihak, yang tidak siap menyesuaikan arah bisa tenggelam sebelum sempat bersaing.
Navigasi di Tengah Badai
Perang dagang ini bukan hanya soal AS dan China. Ini adalah medan ujian bagi seluruh dunia untuk menavigasi masa depan yang lebih tidak pasti. Di tengah lautan global yang penuh badai, Indonesia perlu menghidupkan kembali naluri pelautnya—membaca arah angin, menyesuaikan layar, dan bergerak cepat sebelum gelombang berikutnya datang.
Karena dalam ekonomi global hari ini, krisis tidak perlu paspor untuk menyebar. Dan daya tahan—bukan kekayaan semata—yang akan menentukan siapa yang tetap bertahan di pelabuhan esok hari.








Komentar