Pelaut ADIPATI l Kalitbang INDOMARITIM l Kalitbang APUDSI I CEO TRUST l Presiden SPI l Volunteer INMETA
Kunjungan kenegaraan Presiden Xi Jinping ke Malaysia pada 16 April 2025 dan penandatanganan 31 MOU menandai babak baru dalam hubungan bilateral Beijing–Kuala Lumpur. Di balik kemeriahan diplomatik, tersembunyi kepentingan geoekonomi, soft power, dan agenda strategis jangka panjang yang tidak boleh diabaikan. Bagi Indonesia—sebagai negara tetangga dan anggota ASEAN terkuat—perubahan ini membuka peluang besar sekaligus memaksa kita bergerak cepat agar tidak tercecer.
Menghadapi “Trade Diversion” dan Memperkuat Industri Domestik
Investasi besar China ke “Twin Parks” Malaysia bisa memicu arus modal dan manufaktur bergeser dari Indonesia. Jika tidak diantisipasi, wilayah barat Nusantara berisiko ditinggalkan investor. Namun, ini adalah momentum bagi kita untuk menunjukkan keunggulan alternatif: percepat pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Sumatra Barat, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan; permudah perizinan; dan tawarkan insentif fiskal serta logistik mutakhir. Dengan begitu, Indonesia bukan sekadar “lingkar luar” BRI, melainkan simpul rantai pasok sejajar.
Memaksimalkan Posisi Geostrategis Selat Malaka dan Sunda
Kereta api dan pelabuhan BRI di Malaysia merekatkan koridor maritim Tiongkok–ASEAN. Sebagai negara antara dua selat tersibuk di dunia, Indonesia harus agresif menggarap proyek pelabuhan Kuala Tanjung, pendalaman Selat Sunda, dan digitalisasi rantai pasok. Upaya ini akan memastikan bahwa kargo dan penumpang di Asia tidak hanya menyinggahi Malaysia, melainkan juga memanfaatkan keunggulan logistik dan geografi kita.
Menjaga Kedaulatan Digital di Tengah Kolaborasi Teknologi
Kolaborasi AI, satelit BeiDou, dan riset material canggih memberi peluang percepatan transformasi digital. Namun, tanpa pengawasan ketat, teknologi ini bisa menjadi instrumen pengaruh eksternal. “Pembentukan Digital Sovereignty Council harus segera dijalankan, bukan sebagai retorika, tetapi sebagai lembaga pengatur yang kuat dan independen. Tanpa otoritas ini, transfer teknologi unggulan—AI, satelit, big data—bisa berbalik menjadi alat kontrol eksternal yang mengancam kedaulatan digital dan kebebasan sipil kita,” tegas CEO UDV dalam workshop geopolitik strategik di KL Malaysia.
Menjaga Multipolaritas dengan Diplomasi ASEAN
Dukungan Malaysia terhadap Global Security Initiative (GSI) dan Global Development Initiative (GDI) menegaskan poros Asia-sentris ala Beijing. Indonesia—dengan kekuatan diplomatik sebagai negara ASEAN terbesar—harus mengambil peran “hinge state” yang memfasilitasi dialog lintas blok, menjaga agar ASEAN tetap menjadi forum kolektif, bukan arena lintas poros tunggal. “Indonesia memiliki posisi tawar politik yang unik sebagai negara terbesar ASEAN. Dengan memperkuat diplomasi multilateral melalui ASEAN, kita bisa memegang kunci menjaga multipolaritas Asia Tenggara.
Mengintensifkan Soft Power dan Diplomasi Budaya
Penetrasi narasi China lewat kolaborasi media (RTM, CMG, Xinhua) menuntut kita menyaingi dengan soft power yang autentik. Festival budaya, konten streaming berbahasa Indonesia, residensi seniman, dan platform game edukatif harus dipercepat. “Memperkuat Soft Power bukan sekadar menghibur, melainkan strategi geopolitik. Konten kreatif dan platform digital lokal harus difokuskan untuk menancapkan narasi Indonesia di benak masyarakat regional dan global. Kitalah yang harus menentukan cerita kita, bukan pihak lain,” ungkap sang pakar.
“… Indonesia harus segera mempercepat pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan infrastruktur logistik di wilayah-wilayah strategis melalui kemitraan erat antara sektor swasta dan instansi pemerintah untuk menyingkirkan birokrasi yang menghambat; selanjutnya, pembentukan Digital Sovereignty Council dengan mandat legislatif mutlak dibutuhkan agar setiap kerja sama teknologi asing dievaluasi ketat demi menjaga privasi dan keamanan siber; paralel dengan itu, kita mesti memperkuat diplomasi multilateral ASEAN dengan mengambil peran proaktif di ASEAN Outlook on the Indo‑Pacific, KTT ASEAN, dan forum-forum Indo‑Pasifik; dan tak kalah penting, Indonesia harus menggenjot soft power melalui paket insentif bagi kreator lokal, kampanye budaya digital yang masif, serta program pertukaran trilateral bersama Malaysia dan China—semua langkah ini harus berjalan simultan untuk mewujudkan kedaulatan, kesejahteraan, dan posisi tawar yang kuat di panggung geopolitik regional.” CEO UDV
Dengan langkah-langkah tegas dan terukur, Indonesia tidak hanya meminimalkan risiko ketergantungan, tetapi juga memanfaatkan perubahan dinamika kawasan untuk memperkokoh posisinya—bukan sebagai penonton, melainkan aktor utama dalam geopolitik dan geoekonomi Asia Tenggara.
Komentar