Rumput laut, jawaban Indonesia terhadap krisis sampah plastik dunia

Kolom373 Dilihat
Sampah plastik dibuang ke sungai. Komponen plastik yang paling berbahaya adalah serpihan sampah plastik yang dikenal sebagai mikroplastik. www.shutterstock.com

Bakti Berlyanto Sedayu, Victoria University

Dampak yang ditimbulkan oleh pemakaian plastik kini sudah di tahap yang mengkhawatirkan. Data terkini menunjukkan bahwa sejak tahun 1950-an sembilan juta ton plastik telah diproduksi di seluruh dunia, dan setidaknya saat ini masih meninggalkan sampah sebesar tujuh juta ton.

Tidak hanya merusak lingkungan dan mengancam kehidupan satwa, sampah plastik juga mengancam kehidupan manusia.

Salah satu komponen plastik yang paling berbahaya adalah serpihan sampah plastik yang dikenal sebagai mikroplastik. Serpihan tersebut telah terbukti merusak lingkungan, terutama di lautan, dengan jumlahnya yang ternyata lebih besar dibanding dengan yang diperkirakan sebelumnya. Penelitian terbaru menunjukan jumlah mikroplastik yang tersebar di lingkungan kini mencapai sekitar 51 triliun butir, atau setara 236 ribu metrik ton. Partikel kecil ini bisa saja masuk ke dalam perut kita melalui air minum atau makanan laut dan mengancam kesehatan.

Langkah-langkah untuk mengurangi dampak penggunaan plastik telah banyak dilakukan, salah satunya yaitu dengan mengembangkan bahan plastik yang dapat hancur atau terurai secara alami di lingkungan yang lebih dikenal dengan istilah “biodegradable plastics” atau bioplastik.

Penelitian yang sedang saya lakukan ingin menunjukkan bahwa rumput laut dapat menjadi bahan terbaik untuk produksi bioplastik. Artikel ini juga memberikan gambaran bagaimana Indonesia dapat berperan penting dalam pengembangan plastik rumput laut.

Kebijakan melawan plastik

Negara-negara di dunia belakangan ini telah memberlakukan aturan-aturan yang mendukung penggunaan plastik ramah lingkungan dan juga daur ulang, guna menekan pemakaian plastik.

Tahun depan, Inggris melarang segala penjualan produk plastik sekali pakai, seperti sedotan minuman dan kapas pembersih. Kemudian kota-kota di Amerika Serikat telah mendeklarasikan perang terhadap sedotan minuman plastik. Seattle pun ikut meluncurkan kampanyenya dengan jargon “Tidak ada sedotan plastik di Seattle”. Sedangkan New York juga sedang mempertimbangkan untuk melarangnya.

Di 2017, Kenya bahkan menerapkan pelarangan paling keras terhadap penggunaan kantong plastik, yaitu dengan memberikan ganjaran 4 tahun penjara atau denda sebesar $40.000.

Pencarian solusi

Meskipun demikian, penghentian penggunaan plastik seutuhnya merupakan hal yang mustahil. Plastik merupakan bahan yang paling mudah serta serba guna untuk berbagai macam keperluan. Plastik juga memberikan banyak sekali manfaat untuk kehidupan manusia. Ketergantungan orang akan plastik telah mendorong meningkatnya produksi plastik, bahkan di masa mendatang.

Jumlah produksi plastik sangatlah besar, dan diperkirakan akan terus meningkat kedepannya. Pada tahun 2014, produksi plastik kemasan dunia tercatat senilai $270 miliar dan diprediksi akan meningkat hingga $375 pada tahun 2030.

Salah satu cara untuk mengatasi masalah penggunaan plastik diantaranya dengan mendaur ulang. Namun cara ini tidaklah semudah yang diharapkan. Jenis produk plastik yang jumlahnya ratusan menjadi kendala utama pada proses daur ulang, terutama dalam proses pemilahannya. Sehingga hanya sekitar 9% saja jumlah sampah plastik dunia yang telah di daur ulang, 12% dibakar, sedangkan sisanya berakhir di tempat pembuangan akhir atau di samudra.

Cara lainnya yaitu dengan mengembangkan bioplastik. Plastik ini umumnya terbuat dari tanaman atau bakteri sehingga menjadikannya lebih ramah terhadap lingkungan serta dapat berkelanjutan.

Permintaan tinggi bioplastik

Kapasitas produksi bioplastik dunia diperkirakan akan meningkat hingga 6,1 juta ton pada 2021 dari sejumlah 4,2 juta ton pada 2016 yang dipicu oleh semakin meningkatnya kesadaran konsumen terhadap penggunaan produk-produk ramah lingkungan.

Masyarakat kini juga telah banyak memanfaatkan bioplastik untuk keperluan sehari-hari mulai dari kantong plastik, peralatan rumah tangga hingga barang elektronik. Merek-merek terkenal dunia seperti Coca-cola, Heinz, Unilever, Nestle, Danone, dan Nike juga telah menggunakannya terutama untuk kemasan produk.

Mengapa rumput laut untuk bioplastik?

Bahan baku yang biasa digunakan untuk bioplastik antara lain adalah jagung, tebu, minyak tumbuhan, dan pati. Namun penggunaan komoditas tanaman tersebut untuk plastik dapat menimbulkan masalah lainnya.

Pertama, produksi bioplastik membutuhkan investasi yang sangat besar untuk lahan produktif, pupuk, dan kimia. Kemudian, pemanfaatan tanaman tersebut untuk plastik juga akan memicu persaingan antara kebutuhan untuk pangan dengan kebutuhan plastik, sehingga bisa menyebabkan naiknya harga komoditas tersebut dan juga mengakibatkan krisis pangan.

Sejauh ini, rumput laut merupakan kandidat terbaik untuk bioplastik karena mampu menjawab tantangan tersebut di atas. Pertama, harganya yang murah. Kemudian, tidak seperti tanaman darat, rumput laut tidak memerlukan pupuk serta lahan produktif karena ditanam di laut. Dengan memanfaatkan rumput laut sebagai bahan bioplastik, produksi pangan juga akan tetap terjaga sehingga tidak menimbulkan kenaikan harga atau krisis pangan.

Peran kunci Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan dua pertiga wilayahnya adalah perairan. Indonesia juga merupakan salah satu penghasil rumput laut terbesar di dunia. Nilai ekspor rumput lautnya yaitu senilai US$200 juta dan dengan produksinya yang dilaporkan meningkat sekitar 30% tiap tahunnya.

Selanjutnya, Indonesia adalah penghasil jenis rumput laut merah terbesar di dunia, di mana kandungan karbohidratnya merupakan bahan utama untuk membuat bioplastik. Produksi rumput laut indonesia menyumbang lebih dari sepertiga produksi rumput laut dunia.

Laporan terkini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan lokasi yang sangat cocok untuk ditanami jenis rumput laut merah, karena didukung oleh faktor iklim, ketersediaan unsur hara, dan kondisi geografisnya.

Indonesia juga merupakan salah satu pionir dalam hal pengembangan plastik berbahan dasar rumput laut dibandingkan negara-negara lainnya. Industri start up Indonesia Evoware telah menciptakan serta menjual secara komersial cangkir minuman dan kotak makanan berbahan rumput laut hasil budidaya.

Penemuan tersebut menunjukkan betapa besarnya potensi rumput laut untuk dijadikan bahan alternatif bioplastik. Namun demikian, penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk menghasilkan bioplastik yang dapat digunakan untuk jenis produk yang lebih luas lagi. Kedepannya, kita berharap dapat menghasilkan plastik rumput laut yang memiliki kualitas yang mampu bersaing dengan plastik konvensional yang ada saat ini.

Dengan segala potensi yang ada, Indonesia seharusnya memiliki peran besar dalam pengembangan plastik ramah lingkungan dari rumput laut, guna mengatasi krisis plastik global yang terjadi saat ini. Ketika botol minuman atau tas belanja yang berbahan terbuat dari plastik rumput laut mencemari samudera, kita tidak lagi khawatir karena limbah tersebut sebetulnya hanya kembali ke tempatnya semula, di laut.

Bakti Berlyanto Sedayu, PhD candidate, Victoria University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Komentar