Kerja Sama Strategis Rusia-Tiongkok dan Dampaknya Terhadap Keseimbangan Kekuatan Global

Catatan Diplomasi Politik Pelaut Nuswantara

Pelaut ADIPATI l Kalitbang INDOMARITIM  l  Direktur Eksekutif TRUST  l Presiden SPI  l  Volunteer INMETA

Dalam sebuah langkah yang mengejutkan banyak pihak, Presiden Rusia Vladimir Putin dijadwalkan untuk melakukan kunjungan resmi ke Tiongkok pada bulan Mei ini. Kunjungan ini bertujuan untuk memperdalam hubungan ekonomi dan militer antara kedua negara, serta menandatangani perjanjian energi baru. Hal ini mencerminkan semakin besarnya pengaruh Tiongkok dalam hubungan ini, yang mengindikasikan bahwa kerja sama antara kedua negara tersebut akan terus berkembang sesuai dengan ketentuan yang mereka tetapkan.

Kunjungan Putin ke Tiongkok mengikuti jejak Presiden Tiongkok Xi Jinping yang melakukan kunjungan ke Rusia pada tahun 2023. Dalam pertemuan tersebut, kedua pemimpin mengadakan pembicaraan formal dan informal selama berjam-jam serta menandatangani berbagai dokumen kerja sama bilateral. Ini menunjukkan kedekatan hubungan antara Rusia dan Tiongkok yang semakin menguat, dengan kedua negara saling mendukung dalam berbagai aspek, termasuk ekonomi, militer, dan politik.

Kemitraan strategis antara Rusia, Tiongkok, Iran, dan Korea Utara merupakan fenomena yang menarik perhatian dunia internasional. Mereka membentuk sebuah blok yang saling terkait di seluruh daratan Eurasia, yang bertujuan untuk memperkuat posisi mereka dalam keseimbangan kekuatan global. Meskipun bukan aliansi formal, kemitraan ini memperlihatkan adanya koordinasi yang kuat untuk mengambil momentum penting dipertengahan 2024 ini. Jika 16 Mei ini jadwal kunjungan Putin terjadi maka akan kemitraan strategis ini akan berdampak cukup signifikan.

Menghadapi kekuatan Veto Amerika Serikat yang berkali-kali membela Israel dengan membabi buta, menjadikan Rusia dan China perlu bertemu secara fisik untuk menyusun langkah strategis paska penyerangan ribuan rudal Iran ke Israel. Dengan posisi komando Rusia dari Asia Tengah hingga front timur NATO, serta pengaruh Tiongkok yang semakin kuat di wilayah Asia Pasifik, kemitraan ini diperkirakan oleh analis Trust Indonesia dalam FGD Asesmen Presisi awal Mei 2024 akan mempengaruhi dinamika politik dan keamanan global secara keseluruhan.

Namun, kemitraan ini juga menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara demokrasi. NATO, sebagai contoh, sedang mempersenjatai kembali dan memperluas wilayahnya, sebagai tanggapan atas meningkatnya pengaruh kemitraan strategis antara Rusia dan Tiongkok. Negara-negara demokrasi juga memberikan dukungan kepada Ukraina dan memberlakukan sanksi terhadap Rusia, sebagai upaya untuk mengimbangi kekuatan dari blok otoriter ini.

Selain itu, integrasi ekonomi antara Rusia dan Tiongkok juga semakin meningkat. Perdagangan bilateral antara kedua negara melonjak, sementara mata uang yuan Tiongkok mengambil alih dolar sebagai mata uang yang paling banyak diperdagangkan di Bursa Moskow. Ini menunjukkan bahwa kemitraan strategis antara kedua negara tidak hanya terbatas pada bidang politik dan militer, tetapi juga mencakup aspek ekonomi yang sangat penting.

Dengan demikian, kemitraan strategis antara Rusia dan Tiongkok memiliki dampak yang luas, baik secara regional maupun global. Meskipun belum menjadi aliansi formal, kemitraan ini telah mengubah dinamika kekuatan di Eurasia dan mempengaruhi hubungan internasional secara keseluruhan. Bagaimanapun, tantangan dan peluang yang ditawarkan oleh kemitraan ini masih menjadi subjek perdebatan dan analisis mendalam di kalangan ahli dan pemimpin dunia.

Kekuatan geopolitik Eurasia khususnya Tiongkok, saat ini tengah mengawasi dengan cermat setiap peluang untuk memanfaatkan kelemahan apa pun dalam respons Amerika Serikat dan sekutu Inggris serta Prancis di Eropa. Kemampuan negara-negara Barat untuk mengatasi tantangan-tantangan ini tidak hanya akan menentukan jalannya negara-negara tersebut, namun juga membentuk dinamika politik global dan opini masyarakat ketika mereka melihat siapa yang selaras dengan kepentingan mereka. Sebab, hal tersebut juga berpotensi memperparah perpecahan internal partai politik didalam negrinya masing-masing.

Khususnya Eropa hari ini tengah terjadi pergeseran politik ke arah partai-partai sayap kiri akibat sayap kanan yang teguh mendukung Israel yang kejam dan tidak berprikamanusiaan. Ketika partai-partai ini mendapatkan dukungan dan pengaruh dalam wacana publik, risiko polarisasi menjadi semakin jelas dari hari ke hari. Polarisasi tidak hanya menjadi sebuah ancaman namun semakin memperumit kondisi sosio-politik kawasan Eropa yang selama ini dikendalikan oleh Amerika Serikat.

Pada tahun-tahun mendatang, Eropa dan Amerika Serikat akan menghadapi tidak hanya untuk mengatasi dampak langsung dari genosida Israel terhadap rakyat Gaza Palestina, namun juga secara proaktif mengelola dampaknya terhadap lanskap politik, hubungan internasional, dan perimbangan kekuatan yang rapuh. Masa depan menuntut kepemimpinan yang tegas, diplomasi yang kuat, dan komitmen untuk mendorong hak asasi manusia yang terbukti tidak berdaya dihadapan negara israel yang didukung penuh US.

 

Komentar