Pelaut ADIPATI l Kalitbang INDOMARITIM l CEO TRUST l Presiden SPI l Volunteer INMETA
Tidak lama setelah Indonesia bergabung dengan BRICS, pada 9 November lalu Presiden Prabowo Subianto membuat langkah berani dengan Presiden Xi Jinping melalui pernyataan bersama yang menyoroti rencana menciptakan lebih banyak titik terang dalam kerja sama maritim
. Pernyataan ini membawa implikasi signifikan terhadap posisi diplomatik dan geopolitik Indonesia di kawasan, terutama di tengah klaim maritim China yang semakin kuat di Laut Natuna Utara. Dalam konteks ini, banyak pihak bertanya-tanya apakah Indonesia akan mengubah kebijakan terkait sengketa klaim China yang sebelumnya ditolak oleh Indonesia sesuai UNCLOS dan didukung oleh putusan Pengadilan Arbitrase Permanen pada tahun 2016. Pertanyaan ini semakin relevan, mengingat negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei—yang juga berselisih dengan China di wilayah maritim—serta Amerika Serikat dan Jepang, yang menentang klaim China demi kepentingan kebebasan navigasi, mungkin akan mempertanyakan langkah Indonesia.
Manuver Prabowo ini bukan tanpa risiko, terutama karena Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang berposisi netral dalam persaingan antara AS dan China. Pergeseran diplomasi ini berpotensi mengguncang peta geopolitik di Asia Tenggara, terutama karena Indonesia secara rutin terlibat dalam latihan militer dengan Amerika Serikat di wilayah Laut China Selatan. Dengan latar belakangnya di militer dan strategi, Prabowo tampaknya sedang memanfaatkan prinsip menang tanpa berperang
—sebuah pendekatan taktis yang mengandalkan diplomasi asimetris untuk menjaga posisi Indonesia tetap kuat di tengah dua kekuatan besar. Melalui strategi divide and conquer
, Prabowo memastikan agar AS dan China tetap bersaing di kawasan tanpa mengancam posisi Indonesia, sehingga negeri ini tetap berdiri independen dan mengukuhkan dirinya sebagai kekuatan maritim di Asia Tenggara.
Lebih jauh, ketegangan antara AS dan China tampaknya tidak hanya berkisar pada pengaruh militer, tetapi juga perang dagang yang berfokus pada teknologi dan perdagangan mineral penting. Indonesia, sebagai salah satu produsen utama nikel—bahan krusial dalam industri baterai kendaraan listrik—berada dalam posisi strategis untuk menyuplai kedua negara ini. Dengan nikel sebagai alat tawar, Prabowo dapat membuka peluang kerja sama strategis dengan AS dan China untuk menarik investasi sekaligus transfer teknologi guna memperkuat industri pengolahan mineral dalam negeri. Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan nilai ekspor Indonesia, tetapi juga memperkokoh ketahanan ekonominya. Dalam perspektif jangka panjang, strategi ini memungkinkan Indonesia tetap relevan secara internasional tanpa terjebak dalam konflik terbuka, serta memastikan stabilitas di kawasan.
Namun, perang dagang antara AS dan China memberikan dampak langsung dan tidak langsung pada perekonomian Indonesia, khususnya dalam rantai pasokan global atau Global Value Chains
. Jika AS mengenakan tarif lebih tinggi pada barang-barang asal China, seperti yang direncanakan oleh mantan Presiden Trump dengan tarif 25%, maka harga produk China di pasar Amerika akan naik, yang berimbas pada peningkatan harga barang-barang China yang diproduksi dengan bahan baku dari Indonesia. Kondisi ini berpotensi menekan ekspor Indonesia, karena turunnya permintaan barang China yang mengandung komponen Indonesia. Sebaliknya, jika AS mengalihkan pembelian barang-barang dari Asia selain China, yang juga menggunakan bahan baku Indonesia, ini bisa menguntungkan ekspor Indonesia secara tidak langsung.
Dalam rantai nilai global, Indonesia menghadapi tantangan yang kompleks. Perubahan harga ekspor China sebesar 1% bisa mengakibatkan kenaikan harga barang Indonesia sebesar 0,19%, yang artinya setiap perubahan harga di China dapat memengaruhi permintaan barang Indonesia secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia semakin rentan terhadap guncangan perdagangan yang melibatkan negara-negara besar seperti China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa, yang berperan sebagai hub utama perdagangan global. Meski nilai tambah ekspor Indonesia cukup tinggi dan sulit disubstitusi, simulasi menunjukkan bahwa Indonesia masih terpengaruh oleh perubahan kondisi perdagangan di pasar global.
Penelitian yang memodelkan dampak dari trade shock
perang dagang AS-China menggunakan pendekatan nilai tambah menunjukkan bahwa penerapan tarif sebesar 5% oleh AS pada barang China menurunkan ekspor China ke AS sebesar 0,359%, sementara permintaan ekspor Indonesia juga ikut menurun sebesar 0,038% melalui forward linkages
. Di sisi lain, tarif balasan China pada AS menyebabkan ekspor AS menurun sebesar 0,212%, dan terjadinya peralihan pengeluaran dari produk AS ke produksi dalam negeri China. Peralihan pengeluaran ini berdampak positif pada ekspor Indonesia, yang meningkat sebesar 0,005%. Berdasarkan simulasi ini, dampak keseluruhan dari perang dagang AS-China terhadap ekspor Indonesia relatif kecil jika dilihat dari perspektif nilai tambah.
Secara keseluruhan, strategi Presiden Prabowo yang menempatkan Indonesia sebagai penyeimbang di tengah persaingan antara AS dan China menunjukkan potensi besar untuk memajukan posisi ekonomi dan geopolitik Indonesia. Mengingat pentingnya nikel sebagai komponen utama dalam produksi baterai kendaraan listrik, Indonesia kini berada dalam posisi strategis dalam rantai pasokan global untuk industri mobil listrik, yang permintaannya terus meningkat. Sebagai salah satu produsen nikel terbesar di dunia, Indonesia memiliki daya tawar yang unik dalam persaingan ini, terutama karena AS dan China sama-sama membutuhkan akses ke sumber daya tersebut untuk memenuhi ambisi kendaraan listrik mereka.
Dengan mengoptimalkan pengelolaan dan meningkatkan nilai tambah industri nikel dalam negeri, Indonesia berpotensi memanfaatkan tingginya permintaan global terhadap nikel untuk produksi baterai kendaraan listrik, menarik investasi strategis, dan mendapatkan transfer teknologi dari AS maupun China. Mengingat Indonesia sebagai pemasok utama nikel dunia, kebijakan Presiden Prabowo membuka peluang bagi negeri ini untuk memperkuat posisi ekonominya secara signifikan, meningkatkan daya saing ekspor, dan menjaga stabilitas di kawasan. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia meraih manfaat dari dinamika pasar mobil listrik global tanpa harus terjebak dalam ketegangan geopolitik, menjadikan Indonesia tidak hanya sebagai pemasok nikel tetapi juga pemain kunci dalam rantai pasokan global.
Komentar