Gaza, 28 April 2025.
Dulu dia adalah kota peradaban, kini hanya lautan puing. Bangunan hancur, jalanan berdebu, rumah-rumah tinggal rangka besi mencuat ke langit kelabu. Kota ini tidak akan pernah kembali seperti semula. Sejarahnya, tubuhnya, nadinya — semua telah dipatahkan.
Namun dari tepi reruntuhan itu, sesuatu yang lebih kuat mulai tumbuh. Bukan sekadar Gaza yang ingin dibangun kembali. Tapi sebuah negara. Sebuah kekuatan kolektif, lahir dari kehancuran, yang mulai mengendalikan narasi kebangkitan baru di jazirah Arab.
Invasi besar-besaran Israel menghancurkan lebih dari sekadar infrastruktur. Seperti orkestra yang menghancurkan lukisan Palestina dalam Kanvas Arab. Israel yakin Hamas kehilangan basis militernya di Gaza; Fatah kehilangan sisa legitimasi administratifnya di Tepi Barat. Namun rakyat Palestina sepertinya tidak akan pernah perduli karena disanalah mereka dilahirkan dan akan dikuburkan.
Di tengah reruntuhan, lahir Majelis Nasional Rakyat — gabungan aktivis muda, faksi-faksi lokal, teknokrat diaspora, dan elit komunitas yang bertahan dari invasi. Lebih penting lagi, sesuatu yang dulu dianggap mustahil kini terjadi: Hamas dan Fatah bersatu, bukan sebagai dua kekuatan saingan, tapi sebagai wajah tunggal perlawanan rakyat.
Persatuan ini bukan hasil tekanan diplomatik atau permainan negara-negara besar. Ini lahir dari trauma bersama — dari kesadaran brutal bahwa tanpa persatuan, kehancuran akan menjadi abadi.
Di medan baru ini, Israel berusaha mempertahankan kontrol, Mesir dan Qatar bermanuver mengamankan perbatasan, sementara AS dan Eropa berhitung dingin atas kepentingan mereka.
Namun ada satu kekuatan yang memilih jalur berbeda: Indonesia.
Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia, melalui Al-Quds Volunteer Indonesia mencatatkan cerita indah atas solidaritas Indonesia dengan segala bantuan yang telah dikirimkan langsung kelokasi kehancuran. Bantuan yang tidak hanya uang, tetapi manusia yang secara sadar mereka akan di bom setiap saat.
Tapi mereka para dokter, guru, ahli pembangunan sipil, dan relawan yang hadir di Gaza ini secara bergantian bahkan merasakan cinta yang mendalam dengan semua anak-anak kecil yang telah kehilangan keluarga mereka. Adipati seorang kepala misi menuturkan di saluran dukungan daring Volunteer Prancis, bukti kebangkitan itu sangat nyata.
Saatnya membela Gaza dari sedikit bahkan hanya dari uang jajan kita yang tersisa, semuaitu akan memperkuat rakyatnya untuk bangkit dan menjadikan kita sebagian dari sejarah kebangkitan itu. Sebuah cetak biru sederhana seperti membangun klinik di antara reruntuhan, mendirikan sekolah di tenda-tenda, menggali sumur air bersih untuk ribuan yang kehilangan rumah.
Bahwa Gaza harus dibangun oleh tangan rakyat Palestina sendiri, diperkuat oleh solidaritas sejati, bukan dikendalikan dari luar.
Dalam arsitektur geopolitik baru ini, posisi Indonesia menjadi sangat vital. Indonesia berperan sebagai jembatan antara dunia Muslim dan komunitas internasional, membawa kembali isu Palestina ke meja global tanpa terjebak dalam blok-blok politik lama yang seringkali membekukan solusi.
Di saat banyak negara terjebak dalam kepentingan pragmatis, Indonesia tampil sebagai penjamin moral, menegaskan bahwa dukungan kepada Palestina bukan soal strategi kekuasaan, melainkan prinsip keadilan universal dan hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri.
Lebih dari itu, Indonesia juga berfungsi sebagai katalisator rekonstruksi, memimpin misi kemanusiaan non-militer yang fokus pada pembangunan sosial, kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat Gaza, menjauhkan diri dari pendekatan bantuan instan yang tidak berkelanjutan.
Peran ini menjadikan Indonesia sebagai inspirasi regional, membuktikan bahwa solidaritas antarbangsa dapat diwujudkan lewat aksi nyata dan konsistensi, bukan sekadar retorika diplomatik yang hampa.
Dengan langkah ini, Indonesia bukan hanya membangun rumah sakit dan sekolah. Indonesia ikut membangun fondasi sebuah peradaban baru di tengah reruntuhan. Kali ini, Palestina tidak lagi hanya berbicara tentang kemerdekaan. Mereka membangunnya. Batu demi batu, sekolah demi sekolah, pemerintahan demi pemerintahan.
Dan di tengah semua itu, dari reruntuhan Gaza, lahir suara baru .. Bukan suara korban. Tapi suara pemilik masa depan. Negara yang tidak dibentuk oleh negosiasi elite di hotel mewah. Tapi oleh rakyat yang bangkit dari abu.
Didukung, dijaga, dan dibela oleh saudara jauh mereka — 🇮🇩🇵🇸-💝 Indonesia 🦅
Komentar