Pelaut ADIPATI l Kalitbang INDOMARITIM l Kalitbang APUDSI I CEO TRUST l Presiden SPI l Volunteer INMETA
Pada peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 2025, Presiden Prabowo Subianto berdiri di hadapan lautan massa yang memenuhi kawasan Monas. Di bawah langit Jakarta yang terik, beliau menyampaikan pidato penuh emosi dan janji: Penghapusan sistem outsourching, pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional
, hingga dukungan resmi agar Marsinah diangkat sebagai pahlawan nasional.
Bagi sebagian buruh, ini adalah fajar baru—pengakuan dari negara yang selama ini abai. Bagi yang lain, ini sekadar deja vu dari panggung-panggung politik yang menjual harapan tapi gagal menunaikan keadilan. Maka pertanyaannya bukan sekadar “apa yang dijanjikan,” tapi: apa yang akan diperjuangkan, dan oleh siapa?
Outsourcing: Akhir dari Sistem yang Memenjarakan?
Prabowo berjanji akan menghapus outsourcing
, sistem yang telah lama mengorbankan kepastian kerja demi efisiensi biaya. Janji ini ibarat peluit panjang dari buruh yang telah berlari maraton dalam bayang-bayang ketidakadilan. Namun, di hadapan janji ini berdiri kekuatan besar: dunia usaha, investor, dan lingkar kekuasaan yang erat dengan kepentingan pasar.
Pertanyaannya bukan sekadar: "Maukah Prabowo menepati janji?" tetapi "Beranikah ia menantang struktur kekuasaan ekonomi yang menopang kekuasaannya?
Jika penghapusan outsourcing hanya dikemas dalam revisi kebijakan yang longgar, tanpa kekuatan eksekusi, maka buruh akan kembali dijebak dalam lingkaran semu: tampak legal, tapi tetap tertindas.
Dewan Kesejahteraan Buruh: Harapan di Meja Kekuasaan
Gagasan membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional
bisa menjadi terobosan jika diberi nyawa: kewenangan, anggaran, dan integritas. Tapi sejarah Indonesia menyimpan banyak forum tripartit yang mati suri karena kehilangan keberpihakan. Maka, yang krusial bukan hanya pendiriannya, tapi siapa yang duduk di dalamnya
. Apakah mereka benar-benar membawa suara buruh akar rumput, atau sekadar elite serikat yang akrab dengan istana? Jika dewan ini hanya menjadi panggung lain untuk diplomasi tanpa keberanian, maka lebih baik buruh terus berteriak di jalanan daripada dibungkam dalam ruangan ber-AC.
Pertemuan Buruh-Pengusaha: Jalan Tengah atau Jalan di Tempat?
Dialog 150 pengusaha dengan perwakilan buruh terdengar menjanjikan—tapi dialog tanpa substansi adalah retorika yang dibungkus protokol.
Buruh tidak butuh duduk bersama untuk difoto; mereka butuh komitmen tertulis tentang upah layak, jaminan kerja, dan perlindungan sosial.
Jika hasil pertemuan ini tak lebih dari siaran pers, maka itu bukan kemajuan, melainkan pengulangan.
Marsinah: Pahlawan Nasional atau Sekadar Simbol?
Mengangkat Marsinah sebagai pahlawan nasional bukan hanya soal memberi gelar—tapi soal menebus kejahatan sejarah. Ia bukan hanya simbol perjuangan buruh, tapi pengingat bahwa negara pernah (dan masih bisa) lalai melindungi mereka yang memperjuangkan hak. Maka, penghargaan pada Marsinah tidak boleh berhenti di tugu atau teks pidato.
Ia harus dilanjutkan dengan reformasi hukum ketenagakerjaan, pengusutan ulang kasusnya, dan jaminan bahwa tidak akan ada Marsinah-Marsinah baru yang dikorbankan oleh sistem.
Antara Retorika Politik dan Realitas Neoliberal
Yang membuat publik ragu bukan hanya isi janji Prabowo, tapi kontrasnya dengan kebijakan ekonomi yang ia usung: privatisasi BUMN melalui Danantara, banjirnya investasi asing, dan keberpihakan pada efisiensi pasar. Dalam rezim pro-pasar, buruh sering kali hanya menjadi “biaya operasional”. Maka, bisakah dua hal yang tampak bertentangan ini—perlindungan buruh dan liberalisasi ekonomi—berjalan beriringan?
Realitanya, tidak ada kesejahteraan buruh tanpa keberanian politik untuk membatasi kekuatan modal. Jika negara hanya menjadi fasilitator investasi tanpa proteksi sosial yang kuat, maka kesejahteraan akan tetap menjadi narasi, bukan kenyataan.
May Day: Bukan Perayaan, Tapi Peringatan
May Day bukan panggung perayaan, melainkan peringatan: bahwa hak-hak buruh tidak pernah diberikan, tapi selalu harus diperjuangkan. Buruh tidak boleh terpukau oleh panggung politik. Mereka harus terus menuntut:
1. Revisi menyeluruh UU Ketenagakerjaan yang pro-pekerja,
bukan pro-modal.
2. Penghapusan outsourcing yang tegas dan menyeluruh,
dengan pengawasan dan sanksi nyata.
3. Dewan Kesejahteraan yang benar-benar representatif dan berdaya.
4. Perlindungan terhadap kebebasan berserikat dan aktivisme buruh.
Saatnya Buruh Memimpin Narasi
Janji-janji itu mungkin tulus, mungkin pula sekadar strategi. Tapi satu hal yang pasti: sejarah tidak berubah karena pidato, tapi oleh gerakan.
Jika Presiden Prabowo serius, saatnya keberanian bertarung melawan logika oligarki yang membajak sistem kerja ditampilkan. Jika tidak, maka May Day 2025 akan dikenang sebagai orkestra janji yang kembali tak selesai.
Namun jika buruh bersatu, terus kritis, dan tak pernah diam, maka bahkan di tengah kabut kekuasaan, fajar keadilan itu tetap mungkin terbit.
Komentar